ASEI

 

Suara merdu Pramugari dari sisi terdepan pesawat boeing 737,Garuda Indonesia 658 , menyampaikan informasi bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sentani. Para penumpang diwajibkan mengenakan sabuk pengaman, menegakkan sandaran dan membuka penutup kaca jendela. 

Sepanjang perjalanan semalam cukup pekat langit yang dilalui. Hal ini membuat para penumpang lebih memilih menarik penutup jendela ke arah bawah. Namun, cerita di pagi ini memberi petunjuk baru. Sekelebat cahaya memberikan kemilau sinar mentari. Gugusan mega berarak cantik menebarkan kehangatan. Mataku tertuju pada pemandangan nun jauh di bawah. Sayap pesawat amat kokoh, beradu dengan deru mesin yang nyaris membelah heningnya suasana. Perlahan-lahan pesawat pun merambah keanggunan danau, tepatnya danau Sentani . Danau yang berada di bawah lereng Pegunungan Cagar Alam Cyclops. Ada 21 pulau kecil termaktub di dalam Danau yang memiliki luas sekitar 9.360  hektar dan berada pada ketinggian 75 MDPL, merupakan danau  terluas di Papua.

Roda pesawat akhirnya berhenti, pendaratan berlangsung dengan sempurna. Mataku menunggu bagasi drop yang meluncurkan  ransel Eigerku. Proses cros cek petugas bandara tidak berlangsung lama. Jam di lenganku menunjukkan waktu , pukul 06.15 wit. 

“Kak Asdina ! “ sontak aku mencari suara yang menyerukan namaku,  “ Foi Moi “ lanjutnya spontan. Kami pun bersalaman. Kurasakan erat dan hangat sekali. Sesuai konfirmasi sebelumnya , Nicky Mehue adalah Pemandu Wisata yang disiapkan oleh biro travel untuk menjemputku. Bergegaslah kami menyeruak, di antara kerumunan orang yang membaur antara penjemput, penumpang yang baru tiba, petugas bandara hingga para driver pencari konsumen. Sebuah jeep biru dark membawa kami, melaju di jalanan panjang beraspal keras, terus menikung hingga di ujungnnya mencapai tanah yang berbatu. Hentakan rem dan gas terantuk-antuk, gejolak petualanganku bangkit menggelora. Akhirnya supir  pun membanting setir dan jeep kembali menyusuri jalan beraspal. Ternyata supir tadi sempat memilih jalan pintas agar lebih cepat tiba di Dermaga.  Khalkote, demikian nama dermaga di distrik Sentani Timur. Nicky menjelaskan bahwa perahu adalah alat transportasi yang sudah turun temurun dipergunakan. Perahu tradisional yang terbuat dari kayu pun masih melintas sesekali. Namun kehadiran perahu motor diterima dengan baik oleh masyarakat. Biaya pengangkutan sekali perjalanan ,per kepala untuk orang dewasa adalah lima ribu rupiah sementara dua ribu rupiah untuk anak-anak. 

Ketika kakiku menuju perahu motor , seorang laki-laki paruh baya melambaikan tangan, tangannya yang kekar mengenggam erat jemariku, menuntunku hingga tiba di bangku tengah. Spontan kukeluarkan kamera Nikon. Semua terekam dalam bidikan yang terfokus tajam. Terlihat Nicky menyusul dengan membawa ranselku. Langkahnya sedikit terhenti ketika bernegoisasi untuk mencarter perjalanan kami dengan Pengemudi Jhonson. Motor pun berbunyi, keindahan danau Sentani yang kulihat dari ketinggian pesawat terbang tadi pagi. Kini berada tepat di depan mataku. Kecantikannya sungguh luar biasa, bunga teratai yang mekar merona dikelilingi kibasan mangrove yang nyaris tersisa. Lukisan alam yang sempurna.

Perahu motor berputar perlahan-lahan, alam pun tenang dan bersahabat, merestui proses peliputan ini. Waktu yang ditempuh dari Khalkote ke Pulau Asei hanya lima menit. Ketika perahu merapat, deru mesin motor pun perlahan-lahan berhenti. Pendamping pengemudi bergegas melompat dan menarik tali penambat, dengan sigap diikatnya tali pada kayu di dermaga Asei. Terlihat menhir atau tugu batu yang menorehkan motif khas Asei. Balai Arkeolog Papua memaparkan bahwa menhir tersebut adalah  satu-satunya peninggalan tradisi megalitik. Asei juga menyimpan peninggalan bersejarah perang dunia ke-2. 

Riak-riak air terlihat berkilauan memantulkan cahaya matahari. Kayu-kayu  tertata menjembatani tepian danau di sekeliling Asei. Beberapa kali langkahku terhenti ketika memberikan jalan kepada Kaum Ibu yang jauh lebih tua usianya. Alur di Asei hanya satu dan tidak terputus satu dengan lainnya. Rumah-rumah mereka tegar di atas air , “ Rumah Berlabuh” demikian masyarakat menyebutnya.

Keunikan Pulau Asei adalah penduduknya yang telah dikenal sebagai pengrajin yang membuat lukisan di atas kulit kayu. Kulit kayu menjadi bahan dasar utama pembuatan busana yang disebut “malo.” Kemudian pada tahun 1975, Antropolog Arnold Ap dan Danielo Constantino Ajamiseba menggerakkan mengukir dan melukis kulit kayu Asei. Sejarah mencatat salah satu budayawan dari Eropa,Jac Hoogerbruge mengumpulkan foto-foto dan menulis buku tentang lukisan kulit kayu itu. Lukisan kulit kayu yang berbahan Pohon Khombouw. Kayu Khombouw strukturnya seperti karet, mampu melar sewaktu ditarik.  Pada masa lampau, Kulit kayu Khombouw hanya digunakan 3 (tiga) kali dalam kehidupan. Pertama saat untuk membungkus bayi yang baru lahir, membalut perempuan saat prosesi pernikahan  dan ketika seseorang meninggal dunia. 

Lukisan kulit kayu Khombouw (Ficus varigatan)  memiliki tiga pewarna alami yaitu putih (keleumong) dari kapur sirih, merah (hasai) dari tanah liat dan warna hitam (nogomom)  dari arang kayu. Motif-motif Asei kaya akan religi, mitologi, kearifan lokal yang sarat mengangkat kekayaan alam. Makna dari simbol yang dilukiskan pada kulit kayu Khombouw beragam bahkan terus berkembang. Namun, motif yang paling terkenal adalah Fouw. Fouw milik keturunan Ondoafi yang mengukir spiral , simbol ikatan kebersamaan dan kekeluargaan. Kecakapan kaum laki-laki Asei dalam mencari kayu Khombouw menjadi simbol kekuatan religi. Namun perguliran waktu merebak inspirasi  sehingga melukis di kulit kayu tidak hanya dikerjakan kaum laki-laki tetapi juga boleh dilakukan kaum perempuan Asei. Ketika kulit kayu telah dipilah dan dikeringkan, ia menjadi media yang unik, kanvas alami yangmemberikan nilai tersendiri. 

Tepat di tengah hari , perjalananku terhenti, Mataku terkesiap membaca sebuah monumen. Di Pulau yang unik ini, tepatnya pada tahun 1956 dibangun sebuah monumen, untuk memperingati masuknya injil di Asei. Monumen yang tegak berdiri bersama sebuah bangunan gereja. Dari pelataran gereja tersebut tatapan mata lepas menikmati panorama indah danau Sentani.  

Asei, sebuah jejak dokumenter tak ternilai mahalnya. Maha karya yang masih panjang untuk ditelusuri. Artefak megalitikum, budaya melukis di kulit kayu yang eksoktik, kecantikan danau yang merekam surga kecil jatuh ke bumi, hingga noktah perang dunia kedua. 

Mentari semburat kemerahan, senja pun tiba.  Sebuah perahu motor Jhonson dari kejauhan menuju ke tempat kami berdiri, di dermaga Asei.Tanganku memeluk Mama Delila, perempuan hebat yang menjamuku dengan luar biasa. Beberapa lukisan kulit kayu yang kubeli diikatnya dengan hati-hati. Lima ratus ribu harga yang harus dibayar untuk empat lembar kulit kayu Khombouw. “Terimakasih, ini untuk bayar uang ujian, mama pu bongso mau maju wisuda, matanya berbinar.” Kami berpelukan erat,  perahu motor merapat. Nicky menolongku untuk mencapai bangku dengan sempurna. Deru Jhonson, perahu motor semakin keras, mengitari tepian danau, meninggalkan Asei menuju sisi lain Sentani.


Penulis(Asdina) bersama Pelukis  (Mama Delila) memegang lukisan kulit kayu