
Mereka Bilang Aku Kemlinthi
-
Ditulis olehArfan Syarif Prabowo
-
Dibuat tanggal
22 Jul 2024
-
Sekolah
Sekolah Menengah Atas Swasta PKP JIS
Kala Warga Kecil Bermimpi Besar (Mereka Bilang Aku Kemlinthi)
Setiap orang tanpa terkecuali berhak untuk bermimpi sebesar apapun. Sayangnya, tidak semua orang punya kesempatan yang sama dalam menggapai impian tersebut walau sudah sama-sama berjuang keras. Merekalah para warga kecil yang impiannya kerap tidak didukung oleh lingkungan sekitar mereka. Mereka yang umumnya terhalang oleh orang-orang dengan pemikiran tertutup di lingkungan mereka dan terjebak masalah ekonomi, sehingga proses mereka mencapai impian mereka dua kali lebih menyulitkan dibandingkan golongan yang sudah mendapatkan dukungan tersendiri.
Permasalahan itulah yang menjadi pondasi utama dalam novel Mereka Bilang Aku Kemlinthi karya Hanifa Vidya. Novel ini merupakan salah satu hasil naskah terpilih dalam The Writers’ Show 2021 yang diselenggarakan Gramedia Writing Project dan kemudian diterbitkan oleh Penerbit Elex Media Komputindo pada tahun 2022 dengan tebal 248 halaman.
Srikandi–atau akrab dipanggil Sri–yang tinggal di sebuah desa di Kabupaten Malang adalah protagonis novel ini. Para warga di desa tempat tinggalnya masih memegang prinsip patriarki yang menyatakan bahwa para perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena tugas mereka hanya masak, macak (berdandan), dan manak (melahirkan anak). Bahkan di usianya yang baru 17 tahun dan masih duduk di bangku kelas 11 SMA, Sri sudah dilamar oleh banyak pria walau ia selalu menolak semuanya. Karena itulah Sri yang selalu optimis bermimpi agar dapat menempuh pendidikan hingga jenjang perkuliahan, sering diejek kemlinthi alias kebanyakan gaya oleh teman-temannya.
Hingga suatu hari, tanpa sengaja Sri bertemu dengan keluarga kaya dari Jakarta yang sedang berlibur ke desanya. Keluarga yang terdiri dari Bude Wening, Pakde Ethan, Mas Hans, dan Mas Liam itu mengajak Sri untuk ikut bersama mereka ke Jakarta untuk menyekolahkan Sri di sana. Dari sanalah, kita diajak untuk mengikuti kehidupan Sri dalam mencapai mimpinya yang dimulai dari sekolah barunya di Jakarta.
Hanifa Vidya tahu persis target pembaca novel ini, yakni para remaja. Karena itulah dirinya menggunakan bahasa yang ringan dan pendekatan yang tidak terkesan menggurui dalam penulisan ceritanya walau berbagai kalimat quotable tetap membanjiri sepanjang halaman. Dengan penulisan narasi yang sangat kuat sejak halaman pertama, Hanifa Vidya memperlihatkan kemampuannya menyulap tema yang sudah umum dibahas menjadi lebih ringan khas bacaan remaja tetapi tetap intens dan berbobot. Apalagi ceritanya mampu menyediakan amunisi memadai supaya 248 halamannya tampil padat tanpa ada bab yang hanya dijadikan filler semata.
Penggunaan sudut pandang orang pertama melalui tokoh Sri adalah keputusan terbaik dalam penulisan novel ini. Ucapan dan narasinya yang terkesan ceplas ceplos dan “apa adanya” akan membuat para pembaca dengan mudah bersimpati dan mendukung Sri dalam memperjuangkan impiannya. Seringnya penggunaan bahasa Jawa dalam dialog pun tidak terkesan mengganggu karena terdapat terjemahan jelas dan kemunculannya tidak terkesan out of nowhere, justru malah menjadi poin plus tersendiri untuk novel ini karena membawa angin segar dari novel-novel remaja kebanyakan yang sering terasa Jakarta-sentris.
Ditunjang pula dengan tokoh pendukung yang jumlahnya tak banyak, tetapi punya penokohan dan peran yang memadai. Ada Mas Liam yang terkesan cuek tapi selalu memperhatikan orang-orang sekitarnya, Mas Hans yang menenangkan, hingga Claudia dan Lisa yang selalu membakar api semangat Sri. Semuanya punya sifat berbeda yang membuat para pembaca akan dengan mudah membedakan suara antar tokoh dan punya peran yang kuat dalam membantu tokoh utama, membuktikan kepiwaian penulis dalam menciptakan tokoh yang ciamik dengan porsi yang adil.
Memasuki paruh pertengahan, tepatnya saat fase Sri mencoba beradaptasi di kehidupan sekolah Jakarta, ceritanya mulai mengerucut ke arah yang lebih personal: proses Sri mencari jati diri. Di sinilah cerita semakin terasa kompleks karena Hanifa Vidya bak ingin menyuarakan segala pemikirannya tentang beberapa masalah dalam dunia remaja. Mulai dari membahas perang batin yang menerpa remaja atas segala kegundahan dalam menghadapi masa depan, hingga isu bullying verbal yang kerap terjadi tanpa disadari pelakunya turut disentil. Terdapat pula sentuhan bumbu romansa antara Sri dan Liam yang tetap tampil manis lewat pembahasan tipisnya tanpa harus mengganggu pondasi utama cerita. Padat dan tanpa jeda, tetapi semuanya ditulis rapi dan memiliki penyelesaian yang layak sehingga tak ada konflik yang terasa bertumpuk dan memunculkan lubang dalam cerita.
Semua terasa sempurna sebelum novel ini memasuki paruh akhirnya yang menceritakan perjuangan Sri setelah naik ke kelas 12. Titik balik yang harusnya membuat perjalanan hidup sang protagonis menjadi lebih intens, justru tersaji hambar dan anti-klimaks karena penulisan alurnya yang mendadak berjalan sangat cepat dan serba terburu-buru. Pun penggunaan open ending-nya jadi tidak memberikan momentum yang tepat untuk seluruh rangkaian alur yang sudah dibangun sedemikian rupa oleh penulis.
Untungnya hal tersebut tidak sampai menggoyahkan pesan utama yang ingin disampaikan ceritanya. Berlatar di sebuah pemakaman di desa tempat tinggal Sri, bab puncakya tetap tampil mengoyak perasaan pembaca. Bab yang berisi curahan hati Sri kepada almarhum bapaknya akan semua perjuangan dan rintangan yang telah ia hadapi tak hanya membuat mata ikut berkaca-kaca, tetapi juga menjadi refleksi diri. Kembali mengingatkan pembaca bahwa semua orang–termasuk para warga kecil itu–tetap dapat bermimpi besar dan meraihnya jika punya kemauan untuk mengejar mimpi tersebut walau waktu yang ditempuh setiap orang akan berbeda-beda. Seperti yang tertulis pada halaman 120-121 melalui tokoh Hans: “Setiap orang punya starting point masing-masing, situasi masing-masing, kelebihan kekurangan masing-masing, dan pastinya time-line masing”. Terpenting, semua perempuan juga berhak untuk bebas bermimpi dan bersekolah setinggi mungkin tanpa harus terikat oleh peraturan patriaki yang menbelenggu mereka.
Salah satu novel remaja yang sederhana di permukaannya, tetapi penuh dengan rasa di dalamnya. Pilihan bacaan terbaik untuk semua orang, terutama remaja usia 13-18 tahun, yang sedang butuh motivasi untuk meraih impian.
1 komentar