
Di Tanah Lada
-
Ditulis olehAisya Alya Nasyitha
-
Dibuat tanggal
01 Jul 2024
-
Sekolah
SMA Peradaban Serang
Agustus tahun 2015 silam, PT. Gramedia Pustaka Utama menerbitkan buku karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang ditulis untuk mengikuti sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2015. Buah karya tersebut memperoleh juara 2, akhirnya buku “Di Tanah Lada” diterbitkan.
Buku dengan ukuran 20 x 13,5 cm, memiliki lembaran sebanyak 255 halaman, dan telah dicetak ulang sebanyak empat kali. Di Tanah Lada dengan cetakan pertama pada Agustus 2015, cetakan kedua dengan cover barunya pada Maret 2021, cetakan ketiga pada Oktober 2021 dan cetakan keempat pada Januari 2022.
Di Tanah Lada menjadi buku kedua karya Ziggy yang saya baca setelah buku “Jakarta Sebelum Pagi”. Dari buku pertama tersebut, timbullah rasa penasaran untuk mencari tahu karya ciptaan Ziggy yang lainnya. Rasa penasaran yang terlampau tinggi mempertemukan saya dengan buku lainnya. Di Tanah Lada adalah buku yang kebetulan dapat saya baca di ipusnas karena antriannya sudah mencapai giliran.
Di Tanah Lada mengangkat kisah yang berlatar belakang keluarga “Broken Home” dengan mengangkat isu fatherless dan mempresentasikannya melalui tokoh anak perempuan usia 6 tahun yang bernama Salva. Salva atau akrab dipanggil Ava sudah menjadi korban kekerasan dari ayahnya bahkan dianggap sebagai ludah dan hampir diberi nama “Saliva” sejak kelahirannya. Secara garis besar, buku ini menceritakan tokoh utama dengan menggunakan sudut pandang pertama yakni “aku” sebagai pelaku sekaligus tokoh utama.
Cerita dimulai ketika Kakek Kia, kakek kesayangan Salva meninggal dunia dan mewariskan uang yang kepada Papa Salva. Warisan uang ini tidak membuat hidup Salva semakin bahagia, justru membuat hidup Salva dan Mama Salva semakin menderita. Kepergian Kakek Kia membuat Salva dan keluarga pindah ke Rusun Nero. Rumah susun yang berlokasi di tepi kota. Keadaan rusun terbilang mengkhawatirkan kondisinya yang kumuh, kotor, bau dan dekat dengan kasino membuat Salva merasa tidak nyaman.
Salva harus bertahan hidup di rumah barunya dengan keadaan yang sangat tidak ia suka. Beberapa kali Salva ditinggal di rumah sendirian sedangkan Papa berjudi di kasino. Mama pernah bertengkar dengan Papa ketika mengetahui rumahnya dijual dan pindah ke Rusun Nero karena dekat dengan kasino. Pertengkaran mereka sering kali didengar oleh Salva. Namun, beberapa kali tindakan mengupingnya ketahuan dan diberi pukulan oleh Papa.
Rumah baru Selva di Rusun Nero tidak memiliki kamar untuk tidur, tidak ada kasur yang empuk dan tidak ada selimut untuk Salva. Akhirnya, Salva memilih tidur di kamar mandi, dan di dalam koper.
Salva memiliki teman baik yang memiliki nama unik yakni, P. Pertemuannya dengan P digambarkan ketika tindakan menguping pertengkaran Papa dan Mama, Selva pergi dari rumah untuk membeli makan. Ia melihat sebuah rumah makan yang bertuliskan “SEDIA AYAM GORENG”. Oleh karena itu, Selva memutuskan untuk pergi ke rumah makan tersebut dan memesan sepiring ayam goreng. Awalnya Selva merasa kesulitan untuk memotong ayam goreng miliknya karena selama ini selalu dibantu Mama. Tiba-tiba seorang anak lelaki yang membawa gitar kecil datang dan membantu Salva dalam memotong ayam gorengnya. Singkat cerita, P menjadi teman akrab Salva dan memperkenalkannya kepada Mas Arli dan Kak Suri. Mas Arli adalah orang yang memberikan P gitar kecil sedangkan Kak Suri adalah orang yang mengajarkan P Bahasa Inggris. Cerita dibawa dengan menceritakan kisah hidup antara Salva dan P hingga berakhir dengan perjalanan kabur mereka dari orang tua yang penuh kekerasan, pergi ke rumah Nenek Iva (Nenek Salva) yang penuh kasih sayang.
“Di Tanah Lada” memiliki keunggulan penting yakni memberikan pesan mendalam mengenai peran pentingnya orang tua dalam kepribadian dan tumbuh kembang anak. Buku ini mengangkat isu penting bagi para orang dewasa dalam mengambil keputusan besar yakni memiliki anak. Kisah broken home atau fatherless tidak jarang untuk ditemui di kehidupan nyata. Jika berbicara mengenai fisik buku ini, tentu buku “Di Tanah Lada” menjadi opsi bacaan yang dapat dibaca dalam perjalanan karena bentuknya yang kecil dan tidak terlalu tebal. Selain karena bentuk fisiknya, penggunaan bahasa sehari-hari dan tidak terlalu banyak majas puitis membuatnya mudah dipahami dan tidak perlu membuka kamus untuk mencari tahu arti tertentu.
Penggunaan sudut pandang pertama juga menjadi poin penting karena memberikan kesan “terlibat” sehingga pembaca akan mudah merasakan apa yang dirasakan tokoh utama. Alur yang dibawa juga terbilang cukup mudah dipahami sehingga ketika ada jeda hari ketika membaca, alur masih dapat diingat. Pembawaan alur yang santai dan dapat dinikmati pada bab awal dan dibuat intens pada akhir buku menambah daya tarik tersendiri pada buku ini.
Selain itu, Salva digambarkan menjadi sosok anak yang berbeda dibandingkan anak-anak lain yang seusia dengannya. Perbedaan ini dapat dilihat melalui beberapa hal. Pertama, barang bawaannya. Berbeda dengan anak kecil pada umumnya yang selalu membawa mainan kesukaan, Ava memilih untuk membawa kamus pemberian kakeknya kemanapun ia pergi. Apabila orang dewasa menyebutkan istilah yang tidak ia pahami, Ava akan membuka kamus miliknya, menerjemahkannya perkata dan mengambil kesimpulan makna yang cukup nyeleneh. Kedua, akibat dari kamus yang selalu ia bawa Ava akan menggunakan kosa kata yang lebih dewasa dibandingkan anak-anak seusianya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ketiga, pandangan terhadap orangtua. Umumnya pada usia muda, anak-anak akan menerima kasih sayang seutuhnya dari orangtua. Akan tetapi, berbeda dengan Ava yang justru menerima kekerasan fisik dan verba dari ayahnya.
Namun, penggunaan sudut pandang anak kecil dan penggunaan kata berulang dan ekspresi polos anak kecil seringkali membuat buku ini cukup pusing untuk dipahami. Ending dan plot twist yang mendadak terasa cepat di akhir cerita memberikan kesan ending yang dipaksakan.
Buku ini mengajarkan nilai penting akan kesiapan orang dewasa dalam memiliki anak dan menjadi suatu keluarga yang utuh. Perlu diingat bahwa anak adalah tanggung jawab orangtua. Keluarga akan menjadi pondasi moral dan pembelajaran pertama bagi seorang anak dan anak-anaklah yang kelak akan melanjutkan bangsa.
0 komentar