
Laskar Pelangi: Novel pertama dari tetralogi Laskar Pelangi
-
Ditulis olehAzkiya Rahma
-
Dibuat tanggal
20 Jul 2024
-
Sekolah
MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 WONOSOBO
Sulit menemukan orang yang belum pernah sekalipun mendengar tentang “Laskar Pelangi”. Novel legendaris karya Andrea Hirata ini pernah menduduki podium Mega Best Seller dalam pasar buku Indonesia, bahkan telah diterjemahkan dan terbit dalam berbagai bahasa asing. Ketenaran “Laskar Pelangi” kian melejit setelah difilmkan pada tahun 2008 lalu. “Laskar Pelangi” adalah tonggak awal dari keseluruhan tetralogi Laskar Pelangi. Andrea secara jelas memaparkan tentang kemiskinan di tanah Belitong yang kaya pada puluhan tahun silam, era keemasan sebuah perusahaan timah di pulau kecil ini, serta bagaimana kesenjangan ekonomi dan pendidikan yang ada merupakan buah dari diskriminasi dan perbedaan yang tercipta secara tak alami alias feodalisme antara masyarakat kampung di Belitong dan penikmat fasilitas korporasi bernama Gedong.
Sadar bahwa dirinya menyandang kemiskinan membuat anak-anak kampung di Belitong sedikit banyak kehilangan kepercayaan diri dan harapan akan pendidikan. Tak terkecuali tokoh utama dalam novel ini, yang akrab disapa sebagai Ikal. Harapan Ikal akan masa depan tampaknya terhalang tembok tinggi yang mengelilingi Gedong, membuat jarak pandangnya demikian terbatas.
Namun, bersama Bu Mus dan sembilan siswa lain yang hadir pada upacara penerimaan peserta didik baru SD Muhammadiyah Belitong, yang kemudian dijuluki sebagai Laskar Pelangi, termasuk Ikal di dalamnya, tembok tinggi pembatas Gedong dengan dunia luar itu seolah roboh dengan begitu mudahnya. Ikal berani bermimpi dan membuat rencana A dan B untuk mempersiapkan masa depan yang tampaknya akan menjadi gilang gemilang.
Keberanian ini tak lepas dari jasa Lintang, sobat sebangku Ikal, genius alami dari pesisir Pulau Belitong. Kegeniusan Lintang mendorong para Laskar Pelangi untuk semakin menekuni kesempatan mereka bersekolah. Semangat Lintang seakan virus yang menyebar ke seluruh kelas, menggelayut di hati mereka, menerangi hati yang gelap tak termotivasi.
Ketidaknormalan yang mengungkung Ikal dan kawan-kawannya selama bertahun-tahun tentu tak lepas dari beberapa kenormalan yang terjadi pada remaja baru puber. Sebagai pejantan waras, Ikal sekali pernah mengalami cinta monyet selama menjadi siswa di sekolah reyot itu. Meski hidupnya demikian erat dipeluk kemiskinan, ada saja momen lucu dan romantis dengan pujaan hatinya. Kisah cinta Ikal layaknya sukrosa yang membumbui hidupnya yang pahit menjadi demikian manis.
Masing-masing tokoh anggota Laskar Pelangi digambarkan oleh Andrea dengan begitu jelas dalam variasi yang beragam dan tidak monoton. Walau latar belakang keluarga dan ekonomi mereka tak jauh berbeda, namun Andrea tetap menempelkan ciri khas pada masing-masing tokoh, dengan karakter dan kepribadian yang berbeda-beda. Selalu kata tersendiri yang dapat merepresentasikan suatu tokoh. Misalnya saja “hangus”, “buaya”, dan “cunghai”, maka pembaca akan diingatkan kembali pada sosok Lintang.
Diksi yang digunakan Andrea benar-benar menghibur. Untaian kalimat yang ditorehkannya begitu indah, seindah taman bunga di SD Muhammadiyah Belitong dalam imajinasi para pembaca. Gurauan yang diutarakan para tokoh begitu terstruktur dan mengundang tawa. Walau ada saja kalanya pembaca dibuat memutar otak terlalu keras, gagal paham, dan berakhir dengan alisnya nyaris terpaut menjadi satu di atas pangkal hidung.
Tantangan lainnya adalah seputar peletakan flashback yang terkesan menyalip waktu dengan terlalu ugal-ugalan. Dalam novel ini terdapat bab yang memotong suatu peristiwa dengan begitu tajam dan tidak presisi. Namun, hal itu bukanlah persoalan besar dengan kriteria alur yang digunakan, yang secara garis besar merupakan alur maju.
Di sisi lain, tulisan Andrea memberi sebuah pengalaman baru bagi pembaca dengan permainan katanya. Andrea bahkan mau membesarkan hati pembaca ketika dirasa bahwa kalimat yang ditulisnya pada suatu paragraf terkesan sulit dimengerti. Tulisannya seolah-olah memiliki jiwa di dalamnya, bukan sekadar tulisan datar tanpa cita rasa. Tampaknya inilah yang para kritikus makanan dan koki sebut sebagai “dibumbui dengan cinta”.
Dengan berbagai hal spesial menyangkut “Laskar Pelangi”, dan betapa novel ini tentu membuka pikiran pembaca tentang semangat dalam menjalani hidup bahkan di masa sulit, “Laskar Pelangi” tentu sangat dianjurkan untuk dibaca sebagai sarana hiburan dan edukasi, terutama tentang sejarah yang pernah terjadi di Pulau Belitong pada masa lampau. Dan juga, “Laskar Pelangi” secara tak langsung memberi pelajaran tentang rasa syukur yang harus kita miliki dalam setiap keadaan. Ketika seseorang di dunia derajat sosialnya berada di atas kita, barangkali dalam pandangan Tuhan, kita inilah yang lebih tinggi dari mereka. Sekecil apa pun kesempatan, ada baiknya kita manfaatkan dengan baik, barangkali itu dapat menjamin masa depan yang cerah bagi kita, secerah pelangi di langit sehabis hujan. Dan apabila pelangi tak muncul sehabis hujan reda, barangkali karena mentari telah tenggelam di barat. Bukan pelangi yang akan muncul, namun bulan, yang tak kalah cerah, tak kalah indah dengan pelangi.
0 komentar