book

Di Tanah Lada

0
  • book
    Ditulis oleh
    Azkiya Rahma
  • Dibuat tanggal
    21 Jul 2024
  • Sekolah
    MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 WONOSOBO

 

“Di Tanah Lada”, buku dengan sudut pandang dunia anak-anak pertama yang pernah penulis resensi baca. Bahkan dongeng anak pun tulisannya tidak seperti milik Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Karena nama belakangnya demikian panjang, kita panggil saja penulis buku ini sebagai Ziggy. Penulis nyentrik asal Bandar Lampung ini pernah menerbitkan banyak buku sebelumnya. “Di Tanah Lada” adalah salah satu karyanya yang spektakuler sehingga memenangkan penghargaan sebagai Pemenang II pada Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2014 lalu. Ziggy menyampaikan duka dari seorang anak yang terjepit di antara pertengkaran kedua orang tuanya , serta sedikit banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dari pandangan anak sebagai korban. Anak itu mau tak mau mempertanyakan kasih sayang orang tuanya, apakah memang ada atau tidak.

Di sini, Ziggy seolah-olah benar-benar membuat pembaca kembali melihat realitas seperti ketika mereka masih kanak-kanak, tentunya dengan cara yang berbeda. Tokoh “aku” yang bernama Ava memandang dunia dengan cara yang hampir-hampir berbeda dengan orang kebanyakan.

Cerita bermula dari meninggalnya kakek dari tokoh utama, kakek dari pihak ayah. Kakek ini adalah Kakek Kia, nama panggilan dari Ava. Meninggalnya Kakek Kia membuat ayah Ava, atau Papa, pria kasar yang hobi main tangan dan berjudi, memutuskan pindah bersama istri dan anaknya ke sebuah rusun kumuh yang disebut Rusun Nero, tentunya setelah menerima harta warisan. Papa dengan mudah menghambur-hamburkan uangnya di sana karena rusun itu berada dekat dengan semacam rumah judi. Ibu Ava, atau Mama, mulai kehilangan cinta pada suaminya, atau barangkali pada hartanya, atau mungkin keduanya. Ava belum mengerti.

Kebingungan itu kelak akan terjawab oleh seorang teman yang mampu menghilangkan perasaan sedih Ava semenjak pindah ke Rusun Nero yang menurutnya kotor dan jorok. Nama teman Ava adalah P, atau Prince, atau Pepper, atau Pasha, tapi kita panggil saja Pepper. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini bertemu dengan Ava di sebuah rumah makan, memakai baju lusuh dan menyandang gitar.

Pepper adalah nama pemberian Ava. Nama Pepper ini memiliki filosofi menarik yang diutarakan seorang anak kecil. Ziggy mengungkapkannya dengan begitu indah dan masuk akal, menciptakan Ava sebagai seorang filsuf kecil, atau filsuf muda jika “kecil” tak berhasil menggambarkan usianya

Hampir di setiap kejadian, Ava memahami apa yang terjadi dengan menimang-nimang fakta yang dia tahu—kadang-kadang bukan fakta dan hanya hipotesis dari dirinya— dan mengambil kesimpulan setelah mengurutkan fakta atau hipotesis tersebut. Perlu disebutkan bahwa kemampuan bernalar kritis ini dimiliki oleh seorang anak berusia enam tahun. Jadi, tidak salah jika beberapa tokoh lain di dalam cerita mengatakan bahwa Ava adalah anak pintar.

Pepper secara umum juga merupakan anak pintar, walau ia tak sekolah. Namun di balik kepintaran keduanya, terbungkus dengan rapi sikap dan kepribadian yang hampir-hampir tak bisa dikatakan baik, buah dari adaptasi lingkungan keras dan keluarga tak sempurna secara jumlah maupun peran. Kasih sayang yang setengah-setengah, atau bagi Pepper, tak ada sama sekali, menghasilkan dua petualang sembrono, yang kelak kisahnya akan dicetak sebagai sebuah novel utuh.

Novel karya Ziggy yang satu ini lebih mirip dengan buku harian anak berusia enam tahun yang ditulis dengan EYD dan kaidah berbahasa Indonesia yang benar. ‘Buku harian’ ini tidak hanya membuat pembaca seolah-olah melihat, merasakan, dan mengalami apa yang tertulis dalam buku itu, namun juga dibuat berpikir sama seperti apa yang dipikirkan si penulis buku harian. Dan karena kemampuan berpikir atau nalar serta pengetahuan seorang anak enam tahun masih terbatas, maka kerap kali kita sebagai pembaca dibuat merasa pintar karena dapat memahami lebih banyak dari si penulis buku harian.

“Di Tanah Lada” sangat baik untuk dijadikan bacaan di tengah berduyun-duyun drama kehidupan yang datang. Melepaskan diri sejenak dari realitas dan berimajinasi bersama anak kecil tidak ada salahnya. Bersama Ava, kita bisa belajar banyak, entah itu pelajaran hidup atau belajar arti kata dari kamus pemberian Kakek Kia yang selalu dibawa-bawanya.

Salah satu pelajaran hidup di sini adalah bahwa semua orang yang menjadi jahat tentu memiliki alasan tertentu. Mereka tidak serta merta menjadi jahat tanpa sebab. Ada setan yang membisiki mereka menjadi jahat, atau kadang kala ada orang lain, atau perilaku orang lain yang membuat mereka menjadi jahat. Para antagonis di sini seperti Papa dan ayah P juga tentu memiliki alasan untuk menjadi begitu jahat.

Jika menjadi jahat perlu alasan, maka sebaliknya, menjadi baik tidak perlu alasan dan sebab. Kita boleh dan bisa serta merta menjadi baik pada semua orang. Dan orang tentu menyukai orang yang baik. Maka, bisa disimpulkan bahwa lebih baik menjadi orang baik daripada menjadi orang jahat. Menjadi jahat perlu alasan, kita harus susah payah mencarinya. Sedangkan, menjadi baik tidak perlu alasan, tinggal dilakukan saja. Maka, jadilah orang baik, itu lebih mudah.

Kata “healing” dalam judul resensi sebenarnya hampir tidak terbukti ketika membaca “Di Tanah Lada”. Novel karya Ziggy ini lebih sering melelehkan air mata pembaca daripada menentramkan hati mereka. Pada dasarnya, itulah healing yang ditawarkan dalam novel ini. Kita diajak untuk berempati pada perasaan tokoh, maka sejenak kita dapat lepas dari realitas yang terkadang membuat mual. Sebuah pengalaman baru yang berkesan dari novel 245 halaman ini.

“Aku bisa terbang ke mana pun aku mau. Kalau aku jatuh, aku tetap bisa terbang. Karena, di bawah juga langit”.

Judul Buku Di Tanah Lada
Penulis Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
ISBN 9786020318967
Bahasa Indonesia
Tahun Publikasi 2015
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman 245

0 komentar

Buat komentar