
"Ada Asa di Negeri 5 Menara: Kisah Alif Sang Pengembara"
-
Ditulis olehBAIQ MUTIYA HURUN NISA
-
Dibuat tanggal
15 Oct 2024
-
Sekolah
MADARASAH ALIYAH NEGERI 2 MATARAM
Alkisah tentang mimpi-mimpi yang digenggam erat oleh anak-anak, The Land of Five Towers atau Negeri Lima Menara membentang kisah dari tepian danau Maninjau hingga sudut-sudut dunia. Dalam perjalanan ini, Alif, bocah Padang yang ingin menjadi insinyur seperti B.J. Habibie, melangkah menuju berbagai penjuru dunia. Novel ini berlayar dari satu hati ke hati lainnya, mencatat jejak mimpi di langit tinggi, hingga tercetak lebih dari 200.000 kali. Kini, kisahnya hidup di layar lebar, dirajut dari empat titik bumi: London, Maninjau, Gontor, dan Bandung. Bagaimana kisah ini berkelana? 🤔Simaklah, dan biarkan jiwa merasuk dalam inspirasi langsung dari mata para pelakunya✨.
وَتÙلْكَ Ø§Ù„Ù’Ø£ÙŽÙ…Ù’Ø«ÙŽØ§Ù„Ù Ù†ÙŽØ¶Ù’Ø±ÙØ¨Ùهَا Ù„Ùلنَّاس٠ۖ وَمَا يَعْقÙÙ„Ùهَا Ø¥Ùلَّا الْعَالÙÙ…Ùونَ
“Dengan Akal Manusia Bisa Berpikir Melalui Ilmu”
Demikianlah titah-Nya, sebagai pedoman bagi setiap hamba-Nya. Seirama dengan untaian syair Imam Syafi'i yang penuh petuah:
"Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang."
Penggalan sajak Imam Syafi'i di atas adalah pijakan utama dari kisah pengembara luar biasa seorang “santri” yang berkelana mengejar mimpi melintasi musim dan benua. Dengan setiap langkah, ia tak sekadar menjelajah tempat, tapi menyingkap ragam manusia, dan memahami tanda-tanda yang bertebaran di bawah tudung langit yang hanya terbaca oleh hati yang berilmu. Pesan dari Imam Syafi'i inilah yang selalu menjadi salah satu dorongan bagi Alif, tokoh utama novel ini, untuk merantau, menjelajah jauh demi mengejar mimpi dan meraih masa depan.
Alif lahir di tepi Danau Maninjau, tempat masa kecilnya diukir oleh riang tawa di rimba Bukit Barisan, kaki kecil yang berlompatan di sawah berlumpur, dan percikan air biru danau yang seakan merangkulnya dalam damai. Ia belum pernah menginjak bumi di luar Minangkabau, namun takdir berhembus dengan arah berbeda. Mendadak, ia harus melintasi Sumatera dan Jawa dalam perjalanan panjang tiga hari tiga malam menuju sebuah desa terpencil di Jawa Timur. Ibunya mengimpikan dia menjadi Buya Hamka, sementara hatinya melambung ingin menjadi Habibie. Tapi dengan setengah hati, ia menunduk pada harapan Ibunya: belajar di pondok.
Hari pertama di Pondok Madani, mantra “man jadda wajada” menggetarkan jiwanya—siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Alif terdiam, takjub. Di sana, ia mendengar komentator sepak bola dengan bahasa Arab, anak-anak mengigau dalam bahasa Inggris, dan ribuan suara melantunkan syair Abu Nawas dengan khidmat. Setiap pagi, pondok itu bagai melayang di udara, penuh keajaiban.
Dipertemukan oleh jewer berantai, Alif dan lima sahabatnya—Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa—kini kerap duduk di bawah bayang menara masjid yang menjulang tinggi. Menjelang maghrib, mereka menatap awan-awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk, membayangkan impian yang menjelma menjadi benua-benua jauh. Di mata muda mereka, tak ada batasan pada mimpi. Mereka tak tahu kemana takdir akan membawa mereka, tapi yang pasti, impian tak boleh diremehkan. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Demikian pula Alif, yang setelah kembali dari Kanada, harus menerima kenyataan pahit: pekerjaannya hilang oleh hantaman krisis. Namun, impiannya tak pernah goyah. Di setiap malam yang sunyi, di antara tumpukan kertas dan deadline, ia tetap menjaga harapan. Tuhan yang Maha Mendengar tak pernah meninggalkan, dan takdir pun berbisik lembut membawanya terbang ke Washington, menggapai mimpi yang ia simpan di relung hati. Di kota itu, ia tak hanya meraih gelar, tapi juga cinta. Bersama sang istri, ia menjalani pasang surut hidup sebagai pasangan muda. Di tengah hiruk-pikuk keluarga, studi, dan kerja, Alif mengecap kesuksesan sebagai wartawan internasional. Namun, ketika dunia terhenyak oleh tragedi 11 September, hidupnya terguncang. Ia dipaksa meredefinisi makna perjalanan dan mimpinya. Pada puncak karir, Alif menyadari bahwa ada tempat untuk pulang, meskipun harus meninggalkan kenyamanan yang ia bangun di tanah seberang.
Negeri 5 Menara adalah ode bagi mimpi-mimpi yang melintasi batas bumi. Alif, pengembara dari Danau Maninjau, menjelajahi cakrawala penuh harap, sementara Ahmad Fuadi, sang penulis, menyulam kisah dari pengalaman meraih delapan beasiswa di empat negeri. Bukan sekadar novel, ini adalah lentera bagi jiwa yang mendamba ketinggian. Karya ini bersinar, meraih Nominasi Khatulistiwa Award 2010 dan Buku Fiksi Terfavorit di Anugerah Pembaca Indonesia—bukti bahwa mimpi besar, saat diperjuangkan, dapat menyentuh hati dan meninggalkan jejak tak terlupakan.
Dalam novel ini, A. Fuadi berhasil menangkap gejolak pemuda yang memulai karir dengan menggambarkan rasa gengsi, persaingan, dan asmara Alif secara natural. Sebagai buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara, novel ini berdiri kokoh sebagai cerita mandiri, menawarkan narasi yang detail dan lugas, serta memberikan pembaca sensasi langsung dari perjalanan Alif. Dalam terminologi bahasa Arab, buku ini adalah isim—memiliki makna tersendiri yang kuat dan berdiri kokoh. Dengan tema persahabatan yang inspiratif, buku ini cocok untuk semua kalangan, dari anak-anak hingga dewasa, serta membantu mengubah pandangan konservatif tentang pesantren, menunjukkan bahwa pesantren mengajarkan lebih dari sekadar ilmu agama.
Namun, terdapat beberapa kekurangan. Beberapa kata bahasa Arab yang tidak diterjemahkan dapat menyulitkan pembaca awam, dan akhir cerita kurang memberikan gambaran jelas tentang perkembangan tokoh-tokoh lain, meninggalkan beberapa pertanyaan yang tidak terjawab. Selain itu, sampul buku yang koyak dapat mengurangi daya tarik visual dan minat pembaca saat pertama kali melihatnya.
Novel ini layak untuk dibaca, menawarkan kisah yang inspiratif dan penuh makna. Walau terdapat beberapa kekurangan seperti penerjemahan dan sampul buku yang kurang menarik, kualitas cerita dan pesan yang disampaikan menjadikannya buku yang berharga. Harganya pun sepadan dengan nilai yang diberikan.
Jika anda pernah mengambil keputusan bimbang, ambillah tanggung jawab atas keputusan itu. Kelak kemudian hari, anda akan bersyukur atas apa yang telah anda putuskan.
0 komentar