
Namaku Alam
-
Ditulis olehZahrahtul Wahidah
-
Dibuat tanggal
30 Sep 2024
-
Sekolah
Madrasah Aliyah Negeri 2 Samarinda
“Namaku Alam” adalah karya sastra Indonesia yang bergenre Fiksi Sejarah ditulis oleh Leila S. Chudori dan diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) di Jakarta dan merupakan Spin Off dari Novel Pulang. Hanya dengan 438 halaman cerita yang berlatar tahun 1965-1982 ini mengangkat kejadian meletusnya G 30 S PKI yang berdampak besar pada Segara Alam, anak dari seorang ‘Tapol’.
Dengan berbekal pengalaman sebagai wartawan tempo Leila berhasil membawa pembaca tenggelam kedalam kisah memilukan, menulusuri kisah masa kecil Segara Alam yang menanggung segala stigma buruk masyarakat akibat keterlibatan Ayahnya dengan LEKRA, berakhir diburu oleh aparat dan ditembak mati. Buku ini mengupas dosa besar Indonesia yang tak tercatat dalam sejarah, kebrutalan, kebengisan, kediktatoran masa orde baru kala itu.
"Amelia, aku membayangkan, pada saat setiap bayi lahir, para malaikat turun di suatu pagi dan mencium ubun-ubun sang bayi. Semula aku percaya, seorang bayi yang baru saja lahir adalah makhluk suci tanpa dosa yang meluncur ke dunia dengan bekal ciuman malaikat pada ubun-ubunnya; harum bunga mawar dan untaian doa para orangtua... Tetapi Amelia, aku salah. Ternyata banyak sekali bayi yang lahir dengan 'dosa'. 'Dosa' itu mengalir di dalam darah, terpatri di dahinya, bahwa untuk selamanya dia terlahir sebagai putra atau putri ayah yang terkutuk. Maka sejak bayi hingga dewasa, 'dosa' itu akan ditenteng ke mana-mana." Segara Alam yang percaya bahwa ia akan terus menanggung dosa tersebut, hidup dengan penuh dihantui perasaan bersalah atas sesuatu yang bahkan tak diperbuat olehnya. Orang-orang mengira ingatan fotografis yang dimilikinya merupakan sebuah anugerah oleh Tuhan, padahal jauh didalam lubuk hatinya Alam sangat membenci kemampuan yang sering disebut hadiah indah dari Yang Maha Esa. Ia mengutuk keberadaannya, menyumpahkan sumpah serapah, karna keistimewaan itulah dia bisa mengingat segala kejadian kelam di masa lalu dengan rinci, tak bisa dilupakan, dan tak bisa lenyap dalam angan. Namun hal itu berubah ketika Segara Alam bertemu dengan guru sejarah barunya. “Pencatatan sejarah negeri ini sangat buruk, Alam. Kita digenggam penguasa, dan mereka yang menentukan arah sejarah Indonesia sesuai kepentingan mereka memelihara kekuatan dan kekuasaan.” . Bu Umayani yang kerap disapa Bu Uma itu menyarankan agar Alam menulis catatan harian agar suatu saat kisah pilu kehidupan keluarga Alam tak serta merta hilang begitu saja dari dunia.
Novel ini menyajikan alur mundur, dan menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga para penikmat buku ini akan merasa membaca Catatan Harian Segara Alam namun yang membedakan dari catatan harian lain, kejadian yang ditulis sangatlah rinci dan detail sehingga pastinya pembaca akan merasa ikut terbawa dalam pasang arus emosi yang dialami tokoh utama. Tidak hanya itu, buku ini berisi kritikan pedas terhadap rezim orde baru, mengeksplor lebih tentang hak asasi manusia, dan bagaimana dampaknya terhadap lingkup kekeluargaan terutama keluarga Segara Alam yang terpaksa hidup dalam bayang-bayang karna ‘pilihan’ merupakan kalimat yang mewah bagi mereka.
Dalam pengembangan karakternya, Chudori mampu menangkap perasaan Alam sebagai Remaja yang memiliki jiwa bebas dan hasrat yang menggebu-gebu dan menuangkannya dalam bentuk naratif yang mudah dipahami, sehingga kita tak akan mempertanyakan asal sebab perilaku tokoh-tokoh dalam cerita yang memang didominasi oleh Remaja.
Namaku Alam berhasil dipublikasi dan menjadi best seller pada cetakan pertamanya hingga terjual sebesar 5.100 eksemplar. Walau sempat tertunda karena adanya pandemi Covid-19. Buku ini membawa pembaca untuk membuka mata akan fakta-fakta kelam sejarah Indonesia yang selama ini ditutup-tutupi oleh pemerintah. Dengan menggunakan Bahasa yang penuh dengan metafora seperti ‘Kuning Jingga’ dan ‘Merah Kesumba’ menambah unsur keunikan dan kedalaman terhadap karya dan penokohan yang melambangkan suasana hati Alam yang berusaha mengatasi dendam atas diskriminasi terhadap keluarganya dalam beberapa dekade. Namun novel ini memiliki tantangan tersendiri bagi pembaca yang tidak terlalu memahami latar sejarah G 30 S PKI dan kalimat-kalimat slang tahun 80an, sehingga dibutuhkannya riset yang cukup mendalam jika ingin sepenuhnya memahami.
Secara keseluruhan Namaku Alam sangatlah layak untuk dibaca, sebab akan memperkaya pengetahuan tentang sejarah yang selama ini tak diceritakan oleh buku pelajaran sekolah kita. Mereka yang tidak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya (George Santayana, 1905) Oleh karna itu kita sebagai generasi penerus bangsa tak boleh melupakan apa yang pernah terjadi di masa lalu baik terang maupun gelap., hal itu dilakukan untuk menghindari dan mencegah terjadinya kesalahan yang sama.
1 komentar
Good Job