book

Gadis Pantai

0
  • book
    Ditulis oleh
    Zahrahtul Wahidah
  • Dibuat tanggal
    15 Oct 2024
  • Sekolah
    Madrasah Aliyah Negeri 2 Samarinda

Gadis Pantai merupakan sebuah karya roman trilogi ditulis oleh sastrawan terkemuka, Pramoedya Ananta Toer. Sayangnya tak selesai karna dibumihanguskan oleh angkatan darat, pembaca terpaksa menikmati kisah Gadis Pantai yang nasibnya tak tentu pada laman terakhir. Untungnya Gadis Pantai merupakan seri buku yang pertama, jika bukanlah naskah Gadis Pantai yang selamat mungkin kita tak akan pernah bisa menikmati karya sastra menakjubkan yang dibalut dengan 273 halaman ini.

Gadis Pantai mampu membawa pembaca menelusuri jejak-jejak sejarah perbudakan di Indonesia, serta kesenjangan kelas dalam lingkup masyarakat tempo dulu. Penulis legendaris yang kerap disapa Pram ini menciptakan karya yang kesohorannya tak lekang oleh waktu dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis sejatinya bekerja untuk keabadian (Pramoedya Ananta Toer, 1980). Meski tulisannya telah dibredel pemerintah sumbu semangat Pak Pram tak pernah padam, meski pernah dipenjara, serta diasingkan ia tetap menulis, karya fenomenal yang diciptakannya saat berada dalam pengasingan antara lain Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) dan karna usahanya itulah namanya tetap harum sebagai penulis yang kritis terhadap pemerintah.

“Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah menceritakan sejarah diri. Dia yang tak pernah kuketahui Namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain, dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan.”(hal.9)

Saat itu ia berumur 14 tahun, belum genap usianya menyentuh kedewasaan dirinya sudah dinikahkan oleh laki-laki yang tak dikenalnya, seorang pembesar yang terkemuka kerap disebut ‘Bendoro’. Sebelum takdir merenggut kebebasannya dia hanyalah seorang anak-anak yang hanya tahu menarik jala di laut, bertelanjang kaki diatas hamparan pasir putih dibawah teriknya sinar matahari, berlarian kesana kemari bermandikan keringat dan amis mentari.”Gadis Pantai” itulah sebutan yang disematkan orang-orang sebelum datangnya gelar “bendoro putri’ padanya. Awalnya orang tua Gadis Pantai yakin, pernikahan itu dapat membawa kepastian terhadap nasib orang kampung seperti mereka, keduanya ingin Gadis Pantai mendapatkan perlakuan lebih, tak ingin putrinya tumbuh besar dengan melakukan segala aktivitas yang dapat membuat tangannya semula selembut sutera menjadi keras dan penuh kapalan. Dengan begitu dimulailah kisah penuh sayatan hati ini. Awalnya Gadis Pantai merasa tak betah setelah dibawa kerumah suaminya, tak pernah seumur hidup pun dirinya merasakan segala kenyamanan dan penghormatan, perlakuan orang-orang yang berubah secara drastis membuat ia merindu akan kampung halamannya, seringkali ia merengek dan menangis meminta dipulangkan namun apa daya kini takdir tak berpihak lagi padanya. Ia harus belajar bahwa posisinya sekarang hanyalah hamba sahaya terhadap suaminya. Tugasnya hanyalah memuaskan dan menyenangkan tuannya tak lebih dari itu. Seiring berjalannya waktu Gadis Pantai pun memahami keberadaannya, didapati dirinya telah jatuh cinta kepada tuannya, hari demi hari ia menunggu kepulangan bendoro, tak lain dan tak bukan untuk menuntaskan kerinduannya. Namun suatu hari, hati Gadis Pantai hancur berkeping-keping setelah mendapati bahwa pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang akan bertahan selamanya, Bendoro dan dirinya berbeda kasta, tak pantas dan hina bilamana mereka menjalin ikatan suci yang disebut pernikahan, dirinya hanyalah percobaan untuk menghadapi pernikahan sesungguhnya dimana Bendoro akan dikawinkan dengan wanita yang sepantaran dengannya. Namun nasi telah menjadi bubur, didapati dirinya sedang mengandung, Gadis Pantai tak tau menahu bahwa dirinya akan terperosok jauh ke tanah setelah mengetahui anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Dengan tak sabar Gadis Pantai menunggu mempersembahakan anaknya menghadap bendoro, justru bukan kabar baik yang didapat, bak petir menyambar di siang bolong Gadis Pantai telah diceraikan, ia diusir dari rumah kebesarannya itu. Ia berkali-kali memohon ampun kepada bendoro dan meminta pengasihan agar ia bisa membawa anaknya ke kampung halaman Gadis Pantai, tetapi dirinya bukanlah siapa-siapa yang berhak memutuskan nasib anaknya, anak yang dikandungnya bukanlah miliknya lagi, justru telah menjadi kepunyaan sang Bendoro. Tiada lagi yang dapat dikata untuk meluluhkan ketetapan hati tuannya, Gadis Pantai pun pulang Bersama ayahnya dengan hati yang hampa.

“Apa yang takkan kuberikan padamu, nak? Apa yang takkan kukurbankan? Sekarang, sekarang hakku sebagai ibumu pun kurelakan buat kau!” (hal.259)

Menyajikan alur maju, novel ini mampu membawa pembaca hanyut dalam kisah jatuh bangunnya Gadis Pantai, banyak sekali dialog-dialog yang terdapat dalam buku ini yang sangat relevan untuk zaman sekarang terutama dialog tentang perempuan yang masih dianggap sebagai ‘alat’ untuk meneruskan keturunan bagi beberapa orang di masyarakat. Metafora dan majas yang digunakan penulis merupakan kunci penting dalam memainkan perasaan pembaca, melalui gaya kepenulisan tersebut Pram mampu mengiris hati para pembaca terutama pada nasib Gadis Pantai dan anaknya.

Dalam kepenulisan watak tokoh, penulis sangat piawai membentuk karakter yang polos seperti Gadis Pantai hal itu dapat dilihat dari sudut pandang berpikir tokoh ketika berdialog dengan orang sekitarnya, serta penokohan Bendoro yang kerap dijelaskan sebagai orang yang taat agama dan selalu memandang rendah orang yang berasal dari kampung halaman Gadis Pantai, hal itu menunjukkan kesenjangan diantara Gadis Pantai dan Bendoro bahwa sesungguhnya mereka berasal dari dunia yang saling bertolak belakang.

Hingga kini novel Gadis Pantai dianggap karya sastra terbaik Indonesia dan telah mendapatkan banyak sekali penghargaan. Namun novel ini memiliki kekurangan yang terletak pada kebahasaan, banyak sekali Bahasa Jawa yang digunakan serta istilah-istilah asing seperti penyebutan gelar sehingga pembaca pasti akan merasa bingung jika tidak melakukan riset saat membaca.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa karya sastra Gadis Pantai sangat patut untuk dibaca, novel ini mengandung banyak sekali nilai sejarah yang dapat dikaji, mulai dari betapa buruknya sistem feodalisme yang hanya menguntungkan petinggi-petinggi besar dan bagaimana dampaknya terhadap rakyat jelata seperti Gadis Pantai. Dengan kata lain membaca novel ini adalah langkah mengenali sejarah lampau Indonesia yang tak boleh kita lupakan.

Judul Buku Gadis Pantai
Penulis Pramoedya Ananta Toer
ISBN 9799731285
Bahasa Indonesia
Tahun Publikasi Juli 2003
Penerbit Lentera Dipantara
Jumlah Halaman 273

0 komentar

Buat komentar