Tarian Bumi
-
Ditulis olehTabitha Rianty Putri
-
Dibuat tanggal
08 Jul 2024
-
Sekolah
SMP Negeri 15 Semarang
Tarian Bumi pertama kali diterbitkan oleh Indonesia Tera, Yogyakarta (2004) dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2007). Tarian Bumi ditulis oleh Oka Rusmini, penulis senior yang sudah menerbitkan banyak buku dan mendapatkan berbagai penghargaan, salah satunya pada tahun 2003 dari Pusat Departemen Pendidikan Nasional Indonesia memilih beliau sebagai penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra atas novelnya, Tarian Bumi. Tarian Bumi sendiri telah diterbitkan dalam beberapa bahasa asing, Erdetanz (edisi Bahasa Jerman) diterbitkan pada tahun 2007, Earth Dance (edisi Bahasa Inggris) diterbitkan pada tahun 2011, lalu La Danza Della Terra (edisi Bahasa Italia) diterbitkan tahun 2015.
Tarian Bumi sudah dikenal masyarakat luas, bahkan tidak jarang menjadi obyek penelitian, khususnya bagi para mahasiswa Indonesia. Tarian Bumi berlatar belakang pada Bali, Indonesia. Tarian Bumi merupakan buku sederhana, tebalnya hanya 159 halaman, buku sederhana ini seolah menyihir pembacanya untuk ikut larut merasakan apa yang dirasakan oleh Ida Ayu Telaga Pidada sebagai tokoh utamanya.
Tarian Bumi menceritakan kehidupan 4 babak Telaga yang terjadi di Bali. Tarian Bumi menggambarkan Telaga sebagai Wanita Bali yang harus bergelut dengan banyak masalah dalam hidupnya, antara lain sistem adat dan sistem patriarki Setiap babak berpengaruh dalam pembentukan karakter Telaga sebagai wanita dewasa.
Bab awal dimulai pada kehidupan dewasa Telaga, kemudian mulai menceritakan masa kecil Telaga. Pada bab pertama Tarian Bumi menyoroti sistem Matriarki, atau Matrilineal yang terjadi pada masyakarat Bali yang melakukan nyentanain (kawin dengan seorang perempuan yang telah dijadikan sentana atau ahli waris, pihak perempuan yang berkuasa dan dipandang sebagai laki laki, pihak laki laki sebagai perempuan). Kakek Telaga merupakan seorang laki laki yang berambisi memperoleh jabatan tinggi dalam pemerintahan, hingga melupakan bahwa ia pernah melakukan nyentanain. Nenek Telaga yang menganggap cinta itu sakral, merasa frustasi. Banyak kejadian dialami Nenek, puncaknya ketika anaknya ditemukan meninggal di tempat pelacuran. Hal tersebut menjadikan Nenek lantas menyalahkan Jero Kenanga, perempuan sudra yang menikah dengan anaknya. Bab kedua menceritakan tentang Luh Sekar, Ibu Telaga. Luh Sekar adalah wanita Sudra (kasta terendah adat Bali) yang berambisi menjadi istri bangsawan. Untuk mendapatkan laki laki bergelar Brahmana (kasta tertinggi adat Bali) Luh Sekar rela melakukan apapun, termasuk menjadi penari Joged. Hingga akhirnya Luh Sekar menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, laki laki Brahmana yang gemar ngibing, menari mengikuti irama bersama penari Joged. Setelah menikah, Luh Sekar harus mengubah namanya menjadi Jero Kenanga, tanda bahwa ia merupakan istri bangsawan. Sebagai Jero Kenanga, dalam rangka mempertahankan kedudukannya dalam griya, ia memaksa Telaga untuk menikah dengan laki laki Brahmana. Dalam perjalanannya menjadi Jero Kenanga, Luh Sekar berteman dengan Luh Kenten. Tidak ada yang mau berteman dengan Luh Sekar selain Luh Kenten, hingga orang orang yang melihat mereka selalu mencibir. Luh Kenten mencintai Luh Sekar, baginya, tubuh perempuan adalah semesta, tak pantas direndahkan. Babak ini mengungkap kebudayaan Bali yang menganggap laki-laki adalah raja, seperti halnya Nenek yang menyalahkan Jero Kenanga karena anak dan suaminya tak dapat diandalkan. Babak ketiga adalah ketika Telaga belajar menari dengan Luh Kambren. Luh Kambren menceritakan perjalanan hidupnya sebagai seniman tari yang dianugerahi taksu oleh Dewa Tari kepada Telaga. Luh Kambren digilai banyak laki-laki, namun ia tidak pernah tertarik dengan laki laki Bali, Luh Kambren hanya pernah tertarik dengan Jean Paupiere, laki laki Prancis yang gemar menontonnya menari. Sebagai seniman, Luh Kambren ingin dihargai dan dihormati sebagai mana mestinya, namun sayang sampai akhir hayatnya, Luh Kambren belum mendapatkannya. Luh Kambren, representasi para seniman yang sampai sekarang masih belum mendapatkan penghargaan yang cukup. Luh Kambren berakhir meninggal di biliknya, ditemukan usai 3 hari ia meninggal. Luh Kambren sempat menyeritakan rekannya, Luh Dampar, yang berakhir meninggal gantung diri di studio lukis suaminya, studio itu berisi foto dan rekaman badan telanjang Luh Dampar. Luh Dampar adalah korban dari eksploitasi manusia yang dilakukan oleh warga negara asing terhadap wanita Bali. Babak terakhir adalah ketika Telaga beranjak dewasa, Telaga jatuh cinta dengan Wayan Sasmitha, laki-laki Sudra, seniman lukis yang menjadi murid Kakek Telaga. Perbedaan kasta mereka membuat hati mereka bergejolak. Telaga sedari kecil sudah digambleng Ibunya untuk menikahi laki laki Brahmana, namun, sedari kecil Telaga tidak merasakan sosok Ayah. Hal tersebut menjadikan Telaga tidak berpengalaman dalam hal cinta. Hingga, Telaga dan Wayan memutuskan untuk berhubungan badan. Telaga dan Wayan tidak direstui oleh ibu Wayan, sayangnya, tidak banyak yang dapat dilakukannya, karena Telaga sudah mengandung anak Wayan. Banyak kejadian memilukan yang dialami Telaga, mulai dari penolakan Luh Gumbreg yang menganggap dirinya pembawa sial, hingga tindakan pelecehan yang dilakukan Putu Sarma, adik ipar Telaga. Cinta Telaga untuk Wayan sangat tulus, hingga akhir hayatnya Telaga mencintai Wayan. Telaga rela merasakan penderitaan sebegitu banyaknya hanya untuk bersama Wayan.
Secara keseluruhan, saya menyukai cara penulis menjelaskan keadaan yang sedang terjadi dan gaya bahasa penulis. Oka Rusmini menggunakan diksi yang sederhana, namun tetap menarik dan tepat untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi. Alur Tarian Bumi juga tidak bertele-tele, langsung menuju ke inti cerita, tidak ada konflik utama dalam cerita ini. Tarian Bumi justru terkesan seperti buku "perjalanan hidup Telaga." Novel ini memberikan kesan seolah olah pembaca adalah anak yang sedang mendengarkan cerita hidup ibunya. Banyak isu-isu sosial yang diangkat penulis dalam novel ini. Oka Rusmini berhasil mengulik luka-luka yang dialami tokoh perempuan Tarian Bumi dengan baik.
Buku ini membuka pandangan baru saya mengenai pulau Bali. Sebelumnya saya hanya mengenal Bali sebagai kota dengan seribu keindahan alam, maupun kota yang ramai didatangi turis. Tarian Bumi menguak sisi-sisi lain dari pulau Bali, sistem kebudayaan adat, kasta dalam masyarakat dan kebiasaan kehidupan di Bali. Dari skala 1-10, saya memberikan buku ini 9 point. Karena beberapa adegan terkesan vulgar, saya menyarankan buku ini bagi pembaca yang berusia diatas 17 tahun.
0 komentar