
Rara Mendut
-
Ditulis olehZahra Lydia Nugrahaeni
-
Dibuat tanggal
07 Oct 2024
-
Sekolah
SMA NEGERI 05
Resensi Novel Rara Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya
"Mengeksplorasi Perjuangan dan Pembebasan Perempuan dalam Melawan Budaya Patriarki Melalui Tokoh Feminis Rara Mendut"
Rara Mendut adalah novelisasi karya Y.B. Mangunwijaya yang dimuat di harian KOMPAS sebagai cerita bersambung dari tahun 1982-1987. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 dengan jumlah 344 halaman. Dengan genre roman semi-historis, novel ini mengandung banyak sekali sejarah nusantara, sekaligus nilai budaya yang amat sangat kental. Disertai dengan penggunaan kosakata jawa dan humor khas zaman dahulu, setting tempat dan setting waktu yang diambil oleh novel ini adalah pada masa Kerajaan Mataram abad ke-17 yang dipimpin oleh Sultan Agung. Secara garis besar, novel Rara Mendut merekam perjuangan wanita zaman dahulu untuk menentukan takdir dan pilihannya sendiri.
Y.B. Mangunwijaya adalah seseorang yang aktif di bidang sastra dan kepenulisan, ia melahirkan beberapa karya tulis yang berupa artikel, esai, cerpen, novel dan buku nonfiksi. Selain trilogi Rara Mendut, ia juga dikenal sebagai penulis novel “Burung-burung Manyar” yang mendapatkan penghargaan South East Asia Write Award tahun 1983. Y.B. Mangunwijaya merupakan sastrawan yang terbukti serba bisa. Hal tersebut dapat kita lihat dari sepak terjangnya, bahwa ia merupakan seorang pastor yang pernah menjadi dosen sejarah kebudayaan di Universitas Gadjah Mada.
Dalam trilogi Rara Mendut, Y.B. Mangunwijaya terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi di tanah Jawa pada masa Kerajaan Mataram Islam. Rara Mendut adalah cerita rakyat klasik yang menjadi bagian dari Babad Tanah Jawi, teks kuno Jawa. Dalam konteks sejarah, novel ini mengandung banyak sekali informasi sejarah Kerajaan Mataram dengan sangat tepat. Mulai dari kekuasaan Sultan Agung, sampai ke petinggi-petinggi Mataram. Secara internal, kebudayaan yang ada pada novel ini pun relevan dan sesuai dengan latar yang diambil. Seperti kebudayaan Jawa yang sangat melekat dalam novel ini.
“Perawan dan tidak perawan, terletak pada tekad batin, pada galih di dalammu.’ Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, kata ibuku, Nduk, tetapi bila itu melawan kemauan, mereka masih perawan. Dewi Sinta, Nduk Duku, seandainya pun dia sudah ditiduri Rahwana. Dewi Sinta yang melawan, tetaplah perawan. Bahkan ibuku berkata, dan biar ibuku hanya perempuan desa tetapi saya percaya ibuku benar, ‘Seorang ibu yang sudah melahirkan anak tujuh pun, bila dia suci dalam pengabdiannya selaku istri setia dan ibu, dia pun perawan dalam arti yang sejati.” (Hal. 24)
Rara Mendut adalah seorang gadis rampasan dari Pantai Utara Jawa yang menolak untuk dinikahi Tumenggung Wiraguna, seorang panglima dari Kerajaan Mataram. Bahkan, ia lebih memilih untuk menyetor uang begitu banyaknya kepada Tumenggung Wiraguna, daripada harus menjadi selirnya. Rara Mendut merupakan sosok perempuan yang sangat lantang dalam menyuarakan apa yang menjadi keinginannya, ia tak pernah gentar dalam menghadapi akal-akalan Tumenggung Wiraguna. Baginya lebih baik mati di tangan Wiraguna, dibandingkan harus melayani nafsu lelaki yang bukan dicintainya. Dengan kecerdasannya yang dibantu oleh dua dayang setianya yaitu Ni Semangka dan Genduk Duku, ia menjual rokok linting untuk menyetorkan uang kepada sang Tumenggung. Dari situlah, ia akhirnya bertemu dengan sosok lelaki gagah bernama Pranacitra. Mereka langsung jatuh cinta pada pandangan pertama begitu bertatapan satu sama lain. Lalu bagaimana kelanjutan dari cerita ini? Apakah Rara Mendut berhasil menulis takdirnya sendiri, untuk menikahi pria yang diinginkan?
Sebagai tokoh utama dalam kisah ini, Rara Mendut menonjolkan karakter feminisme, di mana ia berusaha memperjuangkan haknya untuk menentukan takdir yang akan ia tempuh. Ia dideskripsikan sebagai perempuan berkulit kecoklatan dengan rambut panjang yang memiliki senyum yang sangat manis. Sisi liar dan erotis dari Rara Mendut tampak dari novel ini, di mana saat menjual rokok linting menggunakan jilatan lidahnya sebagai lem. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki pengaruh yang berpotensi dalam pemasaran. Penolakan Rara Mendut untuk dijadikan selir, memperlihatkan adanya sifat kemandirian dan keberanian yang sudah ada pada masa itu.
Naratif dari novel ini disajikan dengan alur maju menggunakan sudut pandang orang ketiga. Di mana novel ini tidak hanya serba melulu mengisahkan Rara Mendut, tetapi juga membahas latar belakang dari Pranacitra serta Tumenggung Wiraguna sendiri. Yang pada akhirnya, memperlihatkan berbagai persepsi dari masing-masing karakter sehingga pembaca tidak dibiasakan untuk melihat keadaan dari satu sudut pandang saja.
Pengembangan dari alur cerita inipun sangat menarik, setiap babnya mengalami kemajuan dan tidak berhenti di satu situasi saja. Disertai dengan beberapa kehadiran karakter baru, membuat novel ini memiliki berbagai warna-warna yang pada akhirnya membentuk satu kesatuan. Seperti halnya tokoh Genduk Duku, Ntir-untir dan Bolu yang merupakan pengawal Pranacitra. Kehadiran tiga tokoh tersebut, disertai dengan humor yang membuat pembaca tertawa di setiap kehadiran mereka.
Dengan pemilihan tema yang tidak biasa, membuat novel ini memiliki keunikan tersendiri di mana berhasil memadukan romansa dan humor yang luar biasa. Gaya kepenulisan yang disampaikan sang penulis pun sangat indah dengan mencampurkan kisah-kisah wayang yang membuat novel ini memiliki latar belakang budaya yang sangat kuat. Lebih dari itu, masing-masing karakter yang memiliki pendirian tersendiri dalam novel ini, membuat pembaca merasakan hawa dominasi dari beberapa karakter. Sebagian besar sejarah Kerajaan Mataram berhasil dimasukkan di sini, kritik sosial mengenai ketimpangan kelas sosial antara kaum ningrat dan rakyar biasa berhasil tersampaikan dengan baik.
Budaya patriarki di mana laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama, yang terus melekat sepanjang alur dalam novel ini berhasil di lawan oleh sang tokoh utama. Menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya serta merta menerima saja, tetapi juga berani melawan dan menentukan sesuatu. Rara Mendut sebagai ikon feminisme dalam novel ini, menujukkan perannya untuk mengubah pemikiran patriarki yang selama ini terus melekat dan melakukan pembebasan terhadap sesana perempuan.
Selain itu dengan dialog yang sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa, disertai dengan beberapa metafora, membuat novel ini memiliki tantangan tersendiri untuk dibaca. Perlu adanya konsentrasi penuh dalam membaca novel ini sehingga dapat memahami keseluruhan cerita. Terlebih, lagi adanya bagian yang sulit dipahami membuat pembaca harus mengulang bacaannya di beberapa paragraph.
Dilihat secara keseluruhan, novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Melalui narasi yang sangat indah dan tokoh yang sangat kuat. Novel ini tidak hanya memberikan kita pengetahuan mengenai Kerajaan Mataram, namun juga menghibur pembacanya dan memberikan kita berbagai pemahaman yang sangat penting. Dan mengingatkan kita untuk terus selalu menghargai antar masing-masing gender. Sehingga melalui novel ini, kita menjadi merefleksikan kesetaraan gender saat ini.
0 komentar