book

AKU TAK MEMBENCI HUJAN

0
  • book
    Ditulis oleh
    Isabel Wahyuni
  • Dibuat tanggal
    15 Oct 2024
  • Sekolah
    Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Semendawai Timur

Novel  Aku Tak Membenci Hujan  mengisahkan kehidupan Karang Samudra Daneswara, seorang anak yang hidup dengan beban emosional berat akibat penolakan dari ibu kandungnya, Andira Deepa. Sejak kecil, Karang merasa diperlakukan berbeda dari adik tirinya, Biru. Ibunya, Andira, terlihat memberikan kasih sayang yang berlimpah kepada Biru, tetapi selalu dingin dan kasar terhadap Karang. Hal ini memicu rasa rendah diri dan perasaan tidak berharga dalam diri Karang.

     Cerita dimulai dengan gambaran kehidupan Karang di sekolah, di mana dia lebih sering tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam salah satu adegan, Karang duduk di kelasnya saat hujan deras mulai turun di luar. Dia melihat jendela yang basah oleh hujan, simbol yang berulang kali muncul sebagai refleksi dari keadaan batinnya yang penuh dengan kesedihan. Saat seorang teman tanpa sengaja menjatuhkan cat airnya, Karang hanya bisa diam, membeku dalam kesedihannya, merasa semua kejadian yang menyakitkan bukanlah kesalahannya. Andira Deepa tidak pernah menjelaskan mengapa dia memperlakukan Karang dengan dingin, tetapi Karang merasakan bahwa dia tidak pernah diinginkan sejak lahir. Berbagai penolakan yang diterima dari ibunya membuat Karang bertanya-tanya, apa yang salah dengan dirinya. Dalam banyak kesempatan, Karang berusaha untuk meraih perhatian dan kasih sayang ibunya, tetapi selalu gagal.

     Karang mulai merasa bahwa dirinya hidup “karena sebuah kesalahan.” Dia tidak menginginkan apa pun selain diterima dan dicintai oleh ibunya. Namun, perlakuan dingin dan kasar Andira terus berlanjut, meskipun Karang telah berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa dirinya layak mendapatkan cinta yang sama seperti Biru, adik tirinya. Dia mulai merasa terasing tidak hanya dari ibunya tetapi juga dari dirinya sendiri. Ada satu adegan yang sangat kuat ketika Karang mencoba berbicara pada dirinya sendiri di depan cermin, mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah. Namun, rasa sakit karena tidak pernah diakui dan diterima oleh orang yang paling diinginkannya ibunya mulai menciptakan “sosok lain” dalam dirinya.

    “Sosok lain” ini muncul sebagai bentuk pertahanan diri Karang. Ia menjadi lebih tertutup, lebih tajam, dan terkadang bersikap sinis. Namun, di dalam hatinya, Karang masih merindukan pelukan dan perhatian dari ibunya. Dialog-dialog batin yang sering dilakukan Karang, terutama tentang pengorbanan dirinya yang tidak pernah diakui, menjadi bagian yang menyentuh dalam novel ini. Karang juga harus menghadapi berbagai masalah di luar rumah. Di sekolah, meskipun Karang tidak dirundung secara fisik, dia sering merasa terisolasi dari teman-temannya karena sikapnya yang pendiam. Hujan, yang sering kali menjadi teman setianya dalam kesepian, digambarkan sebagai sesuatu yang selalu ada di sekelilingnya, mengiringi setiap momen sulit dalam hidupnya.

     Dalam perjalanan ceritanya, Karang juga bertemu dengan beberapa orang yang mencoba mendekati dan memahami dirinya, tetapi dinding emosi yang dibangun oleh Karang terlalu tebal untuk ditembus. Setiap kali ada kesempatan untuk membuka diri, Karang selalu teringat akan penolakan yang dia alami dari ibunya, sehingga dia memilih untuk tetap tertutup. Karang tidak bisa lagi menahan perasaan yang tertumpuk dalam dirinya. Dalam satu adegan dramatis, dia akhirnya mengonfrontasi ibunya, Andira  dengan penuh emosi. Dia berteriak, memohon untuk diakui, mempertanyakan mengapa ibunya bisa mencintai Biru tetapi tidak dirinya. Pertanyaan seperti “Apa salah Karang?” dan “Kenapa Mama tidak pernah melihat Karang?” menghantam hati pembaca, menggambarkan keputusasaan yang Karang rasakan selama bertahun-tahun. Andira tidak segera memberikan jawaban. Justru, dia terlihat semakin kaku dan tidak mau mengungkapkan alasan sebenarnya. Hal ini memperdalam jurang antara Karang dan ibunya, dan Karang semakin tenggelam dalam rasa sakitnya. Namun, Karang akhirnya mulai menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Dia sadar bahwa meskipun dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya, dia harus belajar menerima diri dan menjalani hidupnya tanpa terus-menerus mengejar pengakuan yang tidak pernah datang. Novel ini berakhir dengan catatan melankolis, di mana hujan tetap menjadi teman setia Karang, tetapi kali ini bukan sebagai simbol kesedihan, melainkan sebagai simbol penerimaan.

      Sri Puji Hartini berhasil menggambarkan emosi yang mendalam melalui karakter Karang, yang membuat pembaca terhubung dengan rasa sakit dan perjuangannya. Alur cerita yang berjalan perlahan memberikan kompleksitas hubungan ibu-anak yang ditampilkan dengan sangat emosional. Hujan sebagai metafora terus-menerus digunakan, memperkuat suasana novel yang penuh dengan rasa kehilangan dan pencarian jati diri. Bahasa yang digunakan sederhana, tetapi puitis, membuat novel ini mudah dipahami namun tetap sarat dengan emosi yang dalam.

    Penulis dengan sangat baik menggambarkan penderitaan dan perjuangan batin Karang. Setiap konflik yang dialami karakter utama terasa realistis dan menyentuh hati pembaca. Novel ini menyoroti dinamika hubungan ibu-anak yang rumit, dan pembaca bisa merasakan emosi intens dari setiap kata yang dituliskan. Penggunaan elemen hujan berhasil menambah kekuatan naratif dan memperkaya pengalaman pembaca. Novel ini mampu menggugah pembaca untuk merenungkan tentang hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai, serta pentingnya menerima diri sendiri meskipun mungkin tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain.

   Bagi beberapa pembaca, alur cerita yang lambat dan lebih berfokus pada penggambaran emosi dan batin karakter mungkin terasa monoton. Konflik utama yang berkisar pada penolakan Karang oleh ibunya diulang-ulang tanpa banyak perkembangan di tengah cerita. Bagi pembaca yang mengharapkan penyelesaian yang jelas, akhir cerita yang menggantung bisa terasa kurang memuaskan. Meskipun Karang menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri, hubungan antara dirinya dan ibunya tidak mendapatkan resolusi yang memadai. Dalam beberapa bagian, ada pengulangan tema-tema yang sama terutama mengenai perasaan penolakan Karang terhadap ibunya. Pembaca yang mencari lebih banyak variasi dalam konflik mungkin merasa bahwa perkembangan cerita berjalan di tempat.

Judul Buku AKU TAK MEMBENCI HUJAN
Penulis SRI PUJI HARTINI
ISBN 978-623-091-500-0
Bahasa Indonesia
Tahun Publikasi 2023
Penerbit KAWAH MEDIA
Jumlah Halaman 348

0 komentar

Buat komentar