
Seribu Wajah Ayah
-
Ditulis olehElvira Raisya Julfi
-
Dibuat tanggal
15 Oct 2024
-
Sekolah
SMA NEGERI 3 SAMARINDA
"Manusia dan kesendirian adalah sahabat dekat yang tak terpisahkan." -Seribu Wajah Ayah, 27.
Foto adalah jendela kita untuk kembali ke masa lalu, mengenang masa-masa tersebut entah dengan tangis bahagia atau sedih. Lewat lensa kamera, manusia membekukan kenangan. Berharap suatu hari di masa depan mereka bisa melihat kembali foto tersebut dengan ingatan tentang apa yang terjadi di hari di mana foto tersebut diambil. Beberapa ingat dengan jelas, beberapa samar, beberapa tidak sama sekali. Namun hanya beberapa yang menyadari bahwa kenangan tersebut tidak akan pernah terulang kembali. Pada Seribu Wajah Ayah, kita akan menyelami masa lampau melalui album foto dari kacamata seorang anak yang dipenuhi sesal.
Novel karya Nurun Ala, Seribu Wajah Ayah terbit pada 2020 melalui Grasindo. Buku dengan tebal 144 halaman ini memiliki dimensi yang cukup kecil yakni 13x19 cm. Seribu Wajah Ayah yang memiliki kode ISBN 9786020522678 dapat kamu beli di pulau Jawa dengan harga Rp55.000.
Seribu Wajah Ayah menceritakan tentang seorang anak yang berusaha memahami ayahnya lebih dalam setelah ayahnya tiada, walau semuanya sudah terlambat dan kini dia dipenuhi oleh penyesalan. Melalui sebuah album foto yang memuat sepuluh foto mereka berdua, sang anak menyusuri setiap kenangan-kenangan penting yang pernah dia buat dengan sang ayah, seperti kelahirannya, hari pertama dia masuk sekolah, kehidupan perkuliahan, dan foto-foto lain yang membuat sang anak sekali lagi menoleh ke belakang untuk melihat sosok ayahnya yang selama ini dia lupakan.
Setiap foto memiliki kisahnya tersendiri, tapi di setiap kisah tersebut, akan selalu ada ayah di dalamnya. Ayah yang penuh dengan kasih sayang yang maha lembut bak sutra, ayah yang penuh dengan tanggung jawab, ayah yang penuh cinta, ayah yang akan melakukan apapun untuk anaknya. Ayah, ayah, dan ayah.
Seribu Wajah Ayah ditulis melalui sudut pandang yang sangat jarang digunakan oleh para penulis, yakni sudut pandang orang kedua yang membuat pembaca seolah menjadi tokoh utama di dalam cerita, sudut pandang ini menggunakan kata ganti "kamu" yang jarang sekali digunakan di karya sastra novel, sudut pandang ini lebih banyak ditemui di karya sastra lain seperti puisi. Novel dengan alur maju-mundur ini menggunakan foto sebagai media untuk setiap pergantian alur yang terjadi, setiap foto akan mengantarkan kita ke kisah masa lalu yang pernah terjadi di kehidupan tokoh "kamu" bersama dengan ayahnya.
Seperti judulnya, Seribu Wajah Ayah berfokus pada hubungan antara ayah dan anak. Lewat novel ini pembaca dapat belajar betapa sulitnya menjadi orang tua tunggal. Tapi walaupun sulit, ayah akan berusaha sekuat mungkin untuk kebahagiaan anaknya, ayah akan melakukan apapun agar kebutuhan anaknya tercukupi, agar tangki kasih sayang anaknya tercukupi. Sang ayah tidak pernah memikirkan dirinya sendiri di atas anaknya, anaknya selalu menjadi prioritas sejak detik pertama dia lahir ke dunia. Pada novel ini, sang ayah memusatkan dunianya pada sang anak, walaupun anaknya tidak demikian. Hal ini sayangnya adalah realitas yang marak terjadi di masyarakat. Bisa dibilang novel ini juga merupakan kritik sosial bagi mereka yang tidak lagi memusatkan dunianya pada orang tua, yang tidak lagi menjadikan orang tuanya prioritas di atas segalanya. Memang ada beberapa kasus di mana ayahlah yang menelantarkan sang anak, tapi tidak peduli siapa yang menelantarkan siapa, darah ayah akan tetap mengalir di dalam tubuh sang anak, mengisi setiap kekosongan, membuat tubuh itu hidup dan bergerak. Secara hukum, sosial, dan biologis—tidak peduli apa yang anak lakukan atau yang ayah lakukan—mereka tetap terikat.
Manusia adalah makhluk dengan emosi yang kompleks, mereka bisa merasakan kebahagiaan, rasa takut, dan juga kesedihan. Dalam Seribu Wajah Ayah, Nurun Ala sebagai penulis berhasil membangkitkan emosi pembaca dengan kesedihan dan kerinduan terhadap ayah yang besar. Penulis menghadirkan kesedihan yang terasa begitu nyata, hal ini dibantu dengan sudut pandang orang kedua yang membuat pembaca merasa bahwa mereka adalah tokoh utamanya. Kesedihan dari novel ini bukan hanya meninggalkan jejak air mata di pipi pembaca, tapi juga bekas yang mendalam di benak pembaca. Mungkin beberapa pembaca membutuhkan rehat sejenak untuk mengolah emosi mereka dengan baik agar tidak tercampur dengan dunia nyata. Kesedihan itu terbangun bukan hanya dari jalan cerita tapi juga dari gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, gaya bahasa yang menyentuh juga mengambil andil dalam kesedihan yang dibangun oleh Nurun Ala. Novel ini memiliki pesan moral yang sangat kuat tentang ayah, bahwa sesibuk apapun kamu atau semarah apapun kamu dengan ayah, dia tetaplah ayahmu, orang yang menjadikan dirimu pusat dunianya bahkan semenjak kamu pertama kali bernapas di dunia yang sementara ini.
Kelebihan lain adalah buku ini dipenuhi dengan ilustrasi hitam putih yang sangat cantik dan mampu membangkitkan emosi pembaca lebih jauh lagi. Kebanyakan ilustrasi itu memuat gambar tokoh ayah bersama dengan anaknya, beberapa yang lain hanya figur sang ayah yang ada di dalamnya.
Alur dari Seribu Wajah Ayah bisa dibilang lompat-lompat. Cerita masa lampau di novel ini diceritakan melalui sepuluh foto yang berbeda-beda, satu foto memiliki jarak tahun yang cukup jauh dengan yang lain. Karena cerita berfokus pada perjalanan masa lampau tokoh utama melalui foto, baik tokoh "kamu" maupun tokoh ayah kurang dieksplor oleh penulis. Latar belakang dan kepribadian kedua tokoh utama tidak dijelaskan secara detail, kecuali yang berkaitan dengan hubungan mereka satu sama lain. Alur dari novel ini juga kurang berkembang ke arah lain, tidak ada pengembangan dunia di dalam Seribu Wajah Ayah, sehingga membuat cerita dan dunianya sempit.
Pertanyaannya sekarang, pernahkah kamu melihat seribu wajah ayahmu? Jika belum mulailah dari sekarang untuk melihat setiap sisi dari ayahmu, patri kenangan tentangnya di pikiranmu dan hatimu, agar di kemudian hari kau tidak menyesal seperti yang terjadi pada tokoh utama di Seribu Wajah Ayah.
Salam Literasi.
0 komentar