
Bumi Manusia
-
Ditulis olehZuyyina Rizqa
-
Dibuat tanggal
01 Aug 2024
-
Sekolah
Madrasah Aliyah Negeri 3 Padang
Judul buku : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun terbit : 2012 (cetakan ke-18) 1980 (terbitan ke-1)
Jumlah halaman : 535 Halaman
Bumi Manusia adalah buku pertama serial Tetralogi Pulau Buru dari penulis Pramoedya Ananta Toer. Pramodeya Ananta Toer atau kerap disapa sebagai Pram adalah penulis legendaris Indonesia. Beliau telah melahirkan lebih dari 50 karya dan 41 diantaranya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Buku yang berhasil menggaet enam nobel perdamaian ini, ternyata ditulis saat beliau di asingkan ke Pulau Buru karena kritiknya yang dinilai pedas kepada pemerintahan. Bahkan karya-karyanya juga dilarang beredar pada masa orde baru.
Bumi Manusia sendiri bercerita tentang seorang Minke yang mana ia adalah seorang pribumi keturunan priyayi yang bersekolah di HBS (Hoogere Burger School). Diceritakan bahwa ia adalah sosok yang cerdas tampan, dan berjiwa nasionalis yang membuatnya menjadi penulis di beberapa koran pada masa itu. Minke, yang tidak menyebutkan nama keluarganya itu kerap dijadikan bahan tertawaan oleh teman-teman sekolahnya yang dominan berisi indo (keturunan campuran) dan totok (keturunan belanda murni). Ia sering dihina karena statusnya sebagai Pribumi.
Meskipun keluarganya sangat menjunjung tinggi adat istiadat jawa, namun tidak dengan Minke. Ia hidup di lingkungan masyarakat Eropa, membawanya terhadap pemikiran-pemikiran bangsa Eropa, dan bahkan tak ingin menjadi Bupati setelah ayahnya mangkat. Pergaulan dengan masyarakat Eropa lah yang mengantarkan Minke terhadap Nyai Ontosoroh dan Annelies yang membuka pemikiran Minke terhadap hal-hal baru yang terjadi di Hindia Belanda pada masa itu.
Nyai Ontosoroh atau Sanikem adalah seorang simpanan Belanda yang mematahkan stigma negatif masyarakat mengenai nyai. Selama ini nyai dikenal sebagai wanita terbelakang, tidak cerdas dan sangat buruk. Namun tidak dengan Nyai Ontosoroh. Dalam novel, Pram menceritakan Nyai Ontosoroh sebagai pribadi yang sangat ambisi, cerdas, piawai dalam mengelola Pertanian Buitenzorg di Wonokromo dan fasih berbahasa Belanda. Terlihat Minke dan masyarakat sekitarnya ikut mengagumi kecerdasan seorang Nyai Ontosoroh.
Sedangkan Annelies Mellema, adalah anak dari Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema. Seorang perempuan yang amat cantik, bertingkah manja, dan sangat mencintai Minke. Pada bagian awal diceritakan bahwa ia ingin menjadi pribumi seperti mamanya, karena ia hidup di bawah idealis pribumi yang selalu diterapkan oleh Nyai Ontosoroh. Ia sangat gigih dalam membantu Nyai Ontosoroh untuk mengelola pertanian Buitenzorg. Namun karena sedari kecil ia telah bekerja keras, berhenti sekolah, dan tidak bersosialisasi dengan teman sebayanya yang menjadikan ia sebagai sosok yang rapuh dan hidup dibawah tekanan. Pada akhirnya kita akan dibuat ikut merasakan kesedihan dan trauma yang selama ini Annelies rasakan.
Annelies mempunyai seorang saudara laki-laki bernama Robert Mellema. Berbeda dengan Annelies yang tidak merendahkan pribumi, Robert justru membenci pribumi dan menyombongkan diri bahwa kedudukannya lebih tinggi dari pribumi. Namun ia tidak sebenci Herman Mellema (ayahnya) pada pribumi ketika ia datang saat makan tengah malam, di hari pertama Minke mengunjungi rumah Annelies. Herman mengumpat dan mengatai Minke dengan sebutan monyet. Pada masa itu, itu adalah perkataan paling kasar yang biasa ditujukan kepada pribumi.
Novel ini lebih banyak menceritakan kisah romansa antara Minke seorang pribumi dengan Annelies yang seorang indo. Namun pertikaian dalam politik juga ikut mengisi novel ini. Tergambar dengan jelas permasalahan-permasalahan yang ada pada masa itu seolah mengusik kita untuk menelaah lebih lanjut. Contohnya seperti penghapusan undang-undang perbudakan pada masyarakat Hindia Belanda. Namun saat di pengadilan, Nyai Ontosoroh masih di perlakukan sebagai budak. Begitu juga dengan sistem kasta sosial yang ada pada masa itu. Perbedaan antara pribumi keturunan Hindia Belanda asli, indo keturunan campuran dan totok keturunan Belanda murni menjadi permasalahan pelik yang diceritakan oleh Pram.
Puncak konflik ditandai dengan tidak diakuinya pernikahan antara Annelies dan Minke serta datangnya orang ketiga yang mengacaukan kehidupan Nyai Ontosoroh, Minke dan Annelies. Orang ketiga itu datang seperti mimpi buruk, yang mengharuskan Nyai Ontosoroh dan Minke bertarung di pengadilan melawan orang berkulit putih. Ketidakadilan, dendam, sakit hati menemani tiap langkah perlawanan. Meskipun Minke hanya melawan dengan tulisan yang diterjemahkan ke dalam dua bahasa, namun ia berhasil menggugah semangat masyarakat sekitar untuk membuat perlawanan.
Penggambaran latar yang sangat detail membuat para pembacanya lebih mudah untuk membayangkan apa yang terjadi di dalam novel. Kita seolah dibawa ke masa penjajahan Belanda di Indonesia pada akhir abad 19. Watak para tokoh juga diperjelas sedemikian rupa, hingga masing-masing mereka mempunyai peran tersendiri yang cukup menentukan alur cerita. Suasana menegangkan, haru, bahagia ikut campur menjadi satu. Pram berhasil memainkan emosi pembacanya di setiap adegan yang di ceritakannya. Permainan diksi yang cukup berat, mungkin membuat para pembaca yang baru menjamah genre fiksi sejarah agak kesulitan dalam memahaminya.
Buku ini sangat di rekomendasikan untuk dibaca karena sangat banyak yang bisa dipetik dari novel Bumi Manusia ini. Baik secara tertulis ataupun tidak. Mulai dari perjuangan menuntut hak, kegigihan dan arti penting dari kehormatan sebuah perlawanan. Serta nilai kemanusiaan, moralitas, dam nasionalis. Bumi Manusia adalah salah satu karya terhebat yang pernah saya baca. Pram berhasil mengenalkan saya terhadap dunia-dunia baru yang sebelum ini tak pernah terpikirkan
0 komentar