
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
-
Ditulis olehZuyyina Rizqa
-
Dibuat tanggal
01 Aug 2024
-
Sekolah
Madrasah Aliyah Negeri 3 Padang
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah salah satu karya sastra legendaris milik Indonesia. Penulisnya berasal dari Maninjau, Sumatera Barat. Memiliki nama lengkap Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang biasa dikenal sebagai Hamka. Novel ini pertama kali ditulis pada tahun 1939. Tenggelamnya kapal van der wijck telah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama pada tahun 2013.
Tenggelamnya kapal van der wijck bercerita tentang seorang pemuda bernama Zainuddin yang berasal dari Makassar, memiliki darah keturunan Bugis dari pihak ibu dan keturunan Minangkabau dari pihak ayah. Sesaat setelah ayahnya tiada, Zainuddin memutuskan untuk berkelana menuju Batipuh panjang, ke tempat negeri yang menjadi tanah lahir ayahnya dan selama ini di dendangkan oleh ayahnya sebagai negeri yang elok.
Sesampai di Batipuh Panjang, ia jatuh cinta dengan seorang gadis yang bernama Hayati. Namun ketika ia disana, ia tidak dianggap sebagai keturunan Minangkabau. Karena Minangkabau yang menganut matrilineal, sedangkan pihak ibu Zainuddin yang berketurunan Bugis. Karena itu, permasalah tersebut menjadi penghalang kisah cinta Zainuddin dan Hayati karena kentalnya adat istiadat.
Zainuddin sempat memberanikan diri untuk meminang Hayati melalui surat, akan tetapi karena Zainuddin dianggap sebagai orang jauh, sehingga lamarannya ditolak oleh pihak keluarga Hayati. Disisi lain, Hayati yang sedang terlena dengan kehidupan dunia pun tak lagi memiliki perasaan pada Zainuddin, hingga menerima pinangan orang lain.
Bangkit dari keterpurukannya atas kegagalan meraih Hayati, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Berbekal dari kepandaian Zainuddin dalam hal menulis, ia kemudian menjadi penulis yang tersohor. Ia telah melahirkan berbagai karya yang fenomenal. Sehingga namanya disebut di berbagai koran, sebagai penyair muda yang amat berbakat.
Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu dengan Hayati dengan suaminya. Namun, saat itu keluarga Hayati dilanda kesusahan akibat kebiasaan buruk suaminya. Sehingga membuat Hayati dan suaminya jatuh miskin. Dengan baik hati, mereka diselamatkan oleh Zainuddin.
Tak lama setelah Zainuddin menolong mereka, Hayati diserahkan kembali kepada Zainuddin atas penebusan luka di masa lalu. Hingga akhir tragis yang menimpa suami Hayati. Saat itu kekosongan melanda mereka, hingga salah satu dari mereka terbesit pikiran untuk bersatu kembali. Namun, saat itu Zainuddin dikuasai oleh amarah hingga melukai hati Hayati.
Hayati yang sejatinya hanya cinta kepada Zainuddin pun menuruti perintah Zainuddin karena merasa tak kuasa akan luka yang telah ia perbuat juga di masa lalu. Hingga buku ini menemui akhirnya.
Novel ini cukup kompleks dalam menggambarkan betapa kentalnya adat istiadat yang terjadi pada masa itu. Terlihat dari diskriminasi pada Zainuddin yang dianggap keturunannya tidak jelas, meski ayahnya termasuk orang yang terpandang pada zamannya. Perbedaan kasta dan harta juga menjadi persoalan pelik yang dialami Zainuddin dalam novel ini.
Hamka mencoba membawa pembacanya untuk menyelami suasana ranah Minangkabau pada zaman dahulu. Dimunculkannya kegiatan, ataupun kebiasaan yang menjadi ciri khas rakyat Minangkabau, berhasil ditampilkan dengan luar biasa.
Penggambaran tokoh Zainuddin yang dibuat terkesan berlebihan serta tokoh Hayati yang memiliki paras yang cantik namun mudah goyah dalam mengambil sebuah keputusan juga ikut mengisi alur cerita dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Namun, banyaknya penggunaan bahasa Melayu lama, membuat para pembaca kesusahan dalam mengartikan kalimat ataupun dialog yang disampaikan. Ditambah dengan kalimat-kalimat kiasan yang sebetulnya menjadi ciri khas dari pergaulan rakyat Minangkabau pada masa lampau, namun menjadi sebuah kesulitan tersendiri bagi para pembaca pada zaman ini.
Alur yang memikat membuat pembaca ikut terhanyut ke dalam jalan cerita. Nuansa ketegangan, kesedihan, amarah, kebahagiaan sukses dibawakan oleh Hamka. Penggunaan majas, dan diksi yang ada pada novel ini, juga membuktikan betapa indah gaya bahasa yang terjadi pada masa lampau. Membaca buku ini kita seolah diajak untuk kembali ke masa lalu dan menyaksikan hiruk pikuk kehidupan saat itu.
Saya sangat merekomendasikan untuk membaca novel ini. Ada banyak pesan moral yang terkandung di dalamnya. Novel ini cocok dibaca saat santai, konflik yang tidak terlalu berat membuat buku ini disenangi oleh beberapa pembaca, terkhusus pada pencinta karya sastra lama.
0 komentar