
Mada
-
Ditulis olehElvira Raisya Julfi
-
Dibuat tanggal
15 Oct 2024
-
Sekolah
SMA NEGERI 3 SAMARINDA
"Setidaknya ketika dia terbang tinggi, aku masih bisa mengenali yang mana garudaku." -Mada, 113.
Buku dan kisah sejarah yang kamu baca tidak menceritakan segalanya yang terjadi di masa lampau. Karena kisah apapun yang telah jauh terkubur memang tidak seharusnya digali dan diganggu-gugat. Kisah masa lalu itu tidak berisikan harta karun atau jimat, melainkan kehancuran, rasa sakit, pengkhianatan, dan hal-hal buruk lainnya. Orang-orang di masa lampau bekerja keras untuk menutupi sejarah tersebut, menghancurkan segalanya yang dapat menjadi bukti bahwa kisah itu pernah terjadi. Tapi bagaimana jadinya kalau orang-orang di masa lampau juga bekerja keras untuk mengubur sejarah tentang kisah cinta beda masa di bumi Majapahit?
Mada karya Gigrey memiliki dua versi. Versi pertama terbit pada tahun 2021 dan versi kedua terbit pada 2023. Walau memiliki kedua versi, saya memutuskan untuk lebih fokus membahas versi pertama yang memiliki kode ISBN 9786239608040 dan dimensi 14x20 cm serta tebal 320 halaman. Sekarang Mada versi lama tidak lagi dicetak ulang dan diedarkan di pasaran. Novel yang terbit dari Akad ini sendiri memiliki harga Rp99.000 di pulau Jawa.
Gendhis kira pertemuannya dengan seorang pria aneh di perpustakaan adalah hal teraneh yang dia alami selama dia pulang kampung ke Yogyakarta. Tapi siapa sangka, bahwa akan ada hal yang lebih aneh lagi menimpa dirinya. Jurnalis muda tersebut terseret ombak pantai saat berlibur bersama sepupunya. Bukannya tenggelam, dirinya malah pergi melintasi waktu dan sampai ke bumi Majapahit, sebuah kerajaan masyhur yang saat itu dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk. Seperti lakon sejarah, dia bertemu dengan para tokoh yang sebelumnya hanya dapat dia lihat atau baca di buku sejarah dan internet. Selain Hayam Wuruk, dia turut bertemu dengan Gajah Mada, mahapatih agung Majapahit yang terkenal akan sumpah palapanya.
Tuhan berbaik hati memberikan kesempatan bagi Gendhis dan juga Mada untuk menjalin hubungan dalam untaian takdir yang indah dan manis. Suatu keinginan muncul di hati Gendhis, ia ingin mengubah sejarah agar tidak ada lagi yang terluka. Bukannya kebahagiaan yang dia dapat setelah dia berusaha mengubahnya, yang Gendhis dapatkan hanyalah fakta pahit bahwa sejarah tidak dapat diubah, dan malapetaka akan tetap terjadi sekeras apapun dia berusaha untuk mengubahnya.
Mada karya Gigrey adalah novel fiksi sejarah romantis yang mengusung tema perjalanan waktu. Novel ini disusun dengan bahasa baku yang memiliki sedikit sentuhan bahasa Jawa kuno di beberapa dialognya. Mada bercerita dari sudut pandang orang ketiga dengan tokoh utama Gendhis yang berusaha mengubah sejarah perang bubat dan kolonialisme setelah dirinya terlempar ke masa lalu. Tapi bukannya dapat mengubah sejarah, upaya Gendhis hanya menciptakan paradoks dengan konsekuensi yang tidak terduga. Buku dengan tema perjalanan waktu ini mengajarkan kita bahwa sejarah tidak bisa kita ganggu gugat. Bahkan jika kita berhasil kembali ke masa lalu dan berusaha mengubahnya, sejarah akan tetap menemukan jalan untuk kembali pada peredaran semestinya.
Mada adalah cerita yang unik. Terlepas dari tema yang umum, Gigrey menambahkan keunikan berupa banyak sekali unsur komedi lewat pergulatan yang sering terjadi antara Gendhis dan Hayam Wuruk. Sifat Hayam Wuruk unik, dia raja, tapi jenaka. Dia sering berdebat dengan Gendhis dan yang menengahi perdebatan itu tentu saja Mada yang merasa seperti mengasuh dua bocah.
Gigrey juga berhasil membangun dunia yang cukup kompleks dengan segala problematika di dalamnya. Salah satu problematika yang dibahas adalah ketidaksetaraan gender yang terjadi di peradaban masa lampau. Tentu ini adalah masalah yang menarik untuk dikulik dari kacamata fiksi. Sayangnya Gigrey lebih terfokuskan kepada konflik politik antar kerajaan daripada konflik sosial tentang ketidaksetaraan gender yang terjadi di bumi Majapahit. Walaupun ini adalah cerita fiksi, bumi Majapahit berhasil dijelaskan dengan detail oleh Gigrey sehingga dapat menghidupkan kembali suasana di kerajaan tersebut, membuat pembaca ikut merasakan hidup di zaman itu.
Saya paham ini adalah cerita fiksi, tapi menurut saya beberapa konteks sejarah dalam novel ini sedikit kurang masuk akal. Contohnya saja seperti Hayam Wuruk yang ternyata bukanlah anak dari Tribhuwana Tunggadewi namun tetap dapat mewarisi tahta, hal ini tidak akan pernah terjadi baik di masa lampau maupun di masa kini. Karena faktanya dalam sistem pemerintahan monarki yang dapat meneruskan tahta hanyalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan penguasa sebelumnya. Selain itu fakta bahwa seorang Mahapatih seperti Gajah Mada memperistri anak angkat seorang Mpu juga kurang masuk akal, apalagi anak angkat Mpu itu—Gendhis—tidak jelas asal usulnya bagi orang lain.
Dari segi percetakan buku, Mada versi lama memiliki kekurangan yang sangat mengganggu, ukuran tulisannya sangat kecil sehingga menyulitkan pembaca untuk membacanya. Saya rasa tulisannya bahkan lebih kecil dari sebutir beras. Sebenarnya hal ini tidak menjadi kendala bagi mereka yang ruangannya terang dan memiliki mata normal, tapi bagi mereka yang memakai kacamata atau tidak sedang berada di ruangan yang sangat terang, membaca Mada dengan tulisan sekecil itu akan membuat mata perih dan cepat lelah. Untungnya di Mada versi baru, hal ini sudah diperbaiki oleh Akad. Tulisan yang semula sangat kecil diperbesar selayaknya novel pada umumnya, hal ini membuat Mada versi baru memiliki jumlah halaman lebih banyak daripada versi lama walaupun isi ceritanya sama.
Kesimpulannya, Gigrey berhasil menghadirkan cerita yang unik dengan menggabungkan fiksi sejarah yang romantis dengan sedikit cipratan politik. Dari novel ini kita belajar bahwa sejarah adalah hal yang telah terjadi di masa lampau dan tidak terelakkan juga tidak bisa diubah. Kekurangan dan kelebihan dari buku ini di setiap pembaca berbeda, karena tidak semua orang memiliki pandangan yang sama, maka dari itu saya merekomendasikan kepada pembaca yang tertarik dengan kisah cinta beda masa ini untuk membaca bukunya langsung.
Salam Literasi.
0 komentar